Misteri Legenda Watu Dodol

Aku masih belum bisa beranjak nih dari keseruan dan keterpesonaanku dengan Kota 
"The Sunrise of Java" ...


Yup, minggu lalu aku menghabiskan lima hari penuh menjelajahi Kota Banyuwangi! Mulai dari wisata pantai, gunung, kuliner, sejarah, budaya, konservasi flora dan fauna serta masih banyak lagi! Nah, kali ini aku terbesit dan terpikir tentang kisah Watu Dodol.

Watu dalam bahasa jawa memiliki arti batu dan dodol memiliki dua makna, berjualan dan jenang/dodol (makanan). Lalu, ada kisah menarik apa dengan Watu Dodol di Banyuwangi?

Pagi buta aku dan rombongan segera beranjak dari hotel untuk mengejar matahari terbit, dan kami berhenti di Pantai Watu Dodol. Aku melihat sekitar, dan aku menemukan Patung Gandrung dan sebuah batu besar yang unik dan aneh, karena ada tanaman yang tumbuh di atasnya. Karena aku penasaran dengan batu itu, bertanyalah aku pada guide dan orang-orang Banyuwangi yang menemani kami.

Watu Dodol

Alkisah, Watu Dodol ini merupakan sebuah legenda di Banyuwangi, dan selama aku di kota ini aku mendapatkan dua versi mengenai cerita Watu Dodol ini.

Versi 1:
Watu Dodol dipercaya sebagai prasasti perjanjian pembuatan jalan. Dahulu kala, Bupati Banyuwangi hendak membelah bukit untuk membangun jalan, namun selalu gagal dan selalu menimbulkan korban. Hingga akhirnya, Bupati Banyuwangi meminta bantuan pada Murtojoyo, yang diyakini sebagai orang sakti. Murtojoyo pun memberikan mandat kepada seorang anak kecil untuk membelah bukit dan membuat jalan. Karena hal ini lah banyak pihak yang melakukan protes. Untuk meredam protes yang terjadi maka dibuatlah Prasasti Watu Dodol ini sebagai perjanjian.

Versi 2:

Kisah yang lain adalah, Kyai Semar (Semar, seorang tokoh dalam kisah Punakawan), sedang memikul jenang (dodol), dengan menggunakan pikulan yang terbuat dari kayu pohon kelor. Ketika Kyai Semar hendak menyeberang, pikulannya patah. Lalu jenang yang dipikulnya berjatuhan. Jenang itu dibiarkan saja pada tempatnya dan lama kelamaan jenang tersebut mengeras dan menjadi batu, hingga akhirnya sampai sekarang dikenal sebagai Watu Dodol.

Nah, jadi kisah mana kah yang paling sesuai dengan Watu Dodol? Entah lah, karena setiap cerita dan legenda pasti akan memiliki cerita yang beragam dan pemaknaan yang beragam.


Patung Gandrung

Monyet di balik Pepohonan Watu Dodol

Pantai Watu Dodol

Usai sudah capture moment di Watu Dodol! Mari kita melanjutkan perjalanan menjelajah Banyuwangi :))

Mengulik Suku "Osing" Banyuwangi

Katanya, Indonesia adalah negara dengan diversitas budaya yang paling tinggi di dunia! Yuppp!!! Siapa sih yang bisa mengelak hal itu? Lihat saja sekitar kita. Setiap jengkal tanah Indonesia menyimpan beragam budaya dan tradisinya yang unik dan menarik!

Kebetulan minggu lalu aku mendapat undangan untuk mengikuti FAM Trip dari Kementrian Pariwisata untuk mengunjungi kota "The Sunrise of Java", Banyuwangi! Tentu aku excited sekali! Pertama yang membuat ku tertarik adalah Suku Osing! Yaaa, kebetulan dua tahun belakangan ini aku aktif di Komunitas Sobat Budaya, jadi sedikit banyak aku suka mengulik budaya tradisi di beragam daerah.

Aku penasaran sekali dengan Suku Osing, karena suku ini adalah salah suku asli Banyuwangi. Dan tentunya, Suku Osing ini memelihara beragam budaya tradisi yang yang menarik :))

Osing sendiri, bermakna "bukan", yang mengartikan bahwa Osing adalah bukan Jawa dan juga bukan Bali. Hmmm,,, Osing sendiri berada di Banyuwangi, tanah Jawa, lalu apa ya hubungannya dengan Bali? Mari kita telusuri.

Sesampainya di Kota Banyuwangi, aku dan rombongan langsung menuju Desa Kemiren. Yang merupakan salah satu desa tempat menetapnya masyarakat Osing. Sesampainya di desa Kemiren, kami masih ditahan di tepian jalan raya, sebelum memasuki wilayah adat. Kenapa ya??? Padahal aku sudah tak sabar mengulik desa adat ini.

Wah ternyata, kita akan disambut dengan ritual Tari Barong Prejeng. Ujar Pak Ridho Kabid Pariwisata Disparta Banyuwangi, tarian ini adalah tarian untuk menyambut para tamu dan untuk menolak bala atau segala hal-hal buruk yang akan menimpa. Wah, seru sekali!


Sambutan Ritual Tari Barong Prejeng

Barong Prejeng

Nah, barong ini menari berlenggak lenggok diiringi dengan tabuhan Gamelan khas Banyuwangi! Mekerakalah para penabuhnya:

Nah, saatnya berbincang dengan Pak Sucipto, Kepala Adat Suku Osing di Desa Kemiren dan Pak Pak Ridho Kabid Pariwisata Disparta Banyuwangi, saat yang ku tunggu-tunggu!

Ceritanya, Suku Osing ini dipercaya sebagai pecahan dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri ke wilayah timur Jawa saat Belanda menyerang. Suku Osing ini juga kerap kali disebut sebagai "Wong Blambangan." Setelah melarikan dari Kerajaan Majapahit, masyarakat Osing ini mendirikan Kerajaan Blambangan yang masih kental dengan nilai-nilai Hindu. Hal ini masih terlihat hingga kini, beberapa kesenian masyarakat Osing, tercorak nilai Hindu, dan mirip dengan kesenian Bali, Kesenian Gandrung misalnya. Pada awalnya masyarakat Osing ini beragama Hindu, namun secara perlahan mereka memeluk agama Islam.

Pisang Sajen, pisang ini digantung di pohon dan disajikan bagi tamu yang ingin mencicipinya

Selain tarian Barong Prejeng, kita juga disuguhi oleh Tari Gandrung nih. Tarian ini awalnya ditarikan oleh lelaki untuk melawan penjajah, namun bergeser dan kini ditarikan oleh para perempuan. Penari pertama Gandrung perempuan bernama Semi, hingga akhirnya diberi nama Gandrung Semi. Ketika menginjakan kakiku di Desa Kemiren, aku merasakan Ngibing Gandrung untuk pertama kalinya :)

Foto penari Gandrung laki-laki (Diambil dari kediaman Pak Sucipto)

Lenggak Lenggok Penari Gandrung

Ngibing Gandrung

Satu lagi yang khas dari masyarakat Osing nih, Pecel Pethek / Pecel Pithik!
Makanan ini hanya disajikan pada saat akan diaadakan slametan/selamatan. Pithik disini berarti ayam kampung yang masih muda. Lauk ini dibuat dengan parutan kelapa muda, berwarna sedikit oranye dan rasanya berbeda dengan urap. Pecel pithik ini disajikan bersama dengan gimbal jagung (perkedel jagung), tahu dan tempe goreng, serta lalapan seperti daun semanggi, daun selada, dan terong.



Nah, selain keseniannya, bagaimana ya, situasi tempat tinggal masyarakat Osing?

Kebetulan sekali, sore itu kami disambut oleh Pak Sucipto, yang merupakan Ketua Sanggar Barong dan juga Ketua Adat Suku Osing di Desa Kemiren, kami pun dipersilakan bertandang ke rumah beliau.

Rumah Adat Suku Osing, halaman depan rumahnya teramat luas!

Teras Rumah

Bale/Ruang Tamu

Pawon/Dapur

Satu suku, menyimpan beragam budaya dan adat istiadat. Tak cukup rasanya menyambangi masyarakat Osing pada sore itu.

Menyibak Rahasia Wisata di Balik Alas Purwo

Alas Purwo, sebuah hutan yang membentang di ujung tenggara Pulau Jawa. Tepatnya berada di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo.

Apa sih yang kita bayangkan sekilas jika mendengar kata alas atau hutan dalam bahasa Indonesia? Sekilas, aku membayangkan tempat yang gelap, seram, menakutkan dan tak selayaknya menjadi destinasi wisata. Sebagian dari kamu juga akan berpikir begitu bukan?

Tapi, bagaimana dengan Alas Purwo? Demikian kah? Setelah aku menjelajah hutan ini dari ujung ke ujung, it's totally not, totally different with what I thought before :)

Yuk kita sibak keindahan dan keunikan Alas Purwo!




Kayu yang telah meranggas dan siap di tebang, bagian hutan ini dikelola oleh Perhutani


Sisa akar kayu yang telah ditebang


Salah satu jenis tumbuhan yang hidup di Alas Purwo

Ketika kita memasuki bagian depan Alas Purwo di sisi kiri dan kanan jalan kita akan menemui pepohonan dan ladang tumbuhan, jika beruntung kamu juga akan menemui beragam hewan yang tinggal di sini. Saat itu aku menemui gerombolan monyet dan dua ekor burung merak betina.

Lalu, ada apa lagi ya di balik Alas Purwo ini? Penasaran? Mari kita lanjutkan perjalanan!


Selamat Datang di Taman Nasional Alas Purwo!

Di sisi kiri pintu masuk, terpajang Patung Banteng, yang memang banteng menjadi salah satu icon Kota Banyuwangi, dan juga sebagai salah satu hewan langka yang dilindungi. Sedangkan di sisi kanan, terpajang Patung seorang pria yang bermain surving. Karena di dalam Alas Purwo ini terdapat beberapa pantai yang menarik untuk dikunjungi dan seringkali dijadikan tempat bermain surving :).


Ketika memasuki bagian ticketing kita disambut dengan Gapura yang kental akan nilai Hindu


Lihat Burung Merak itu nampak malu-malu!


Sampailah kita di hamparan Savanna Sadengan :D


Lihat! Ada kawanan Banteng Betina!


Selain menjadi tempat konservasi fauna, Sadengan juga menjadi tempat konservasi flora. Tanaman lumbu ini salah satunya.


Wah di Pos Penjaga terpajang Tengkorak Kepala Banteng dan Bulu Burung Merak loh!

Ada cerita menarik apa ya di Savanna Sadengan ini?
Savanna Sadengan ini ternyata, satu-satunya feeding ground yang berhasil dikembangakan di Taman Nasional Alas Purwo untuk mengembangkan populasi banteng loh! Feeding ground Pancur dan Payaman gagal dikembangkan karena tidak terdapat sumber air dan hanya menjadi jalur lintas satwa. Wahhh,,, Savanna Sadengan harus benar-benar dijaga yah kalau tidak beragam flora dan fauna yang dilindungi akan punah :(

Selain banteng ada beberapa jenis fauna lain loh yang dikembangkan disini, misalnya burung merak, lutung/siamang dan coyote/ajag/anjing hutan. Ajag ini rupanya seperti anjing hanya saja ekornya menyerupai ekor tupai dan berwarna putih.


Sampai Jumpa Savanna Sadengan di lain waktu :)

Waaaahh,,, ini belum seberapa loh dari beragam tujuan wisata yang bisa kunjungi di Alas Purwo! Jangan terburu lelah! Mari lanjutkan perjalanan and explore the forest!

Siapa yang suka berkemah dan main pantai! Di sini tempat yang cocok buat kamu!


Selamat Datang di Pancur Camping Ground!




I am ready to camp here! How about you?

Sebelumnya, sudah aku sebutkan kan kalau Pancur dulunya dikembangkan untuk Feeding Ground dan konservasi flora fauna, namun karena gagal, Pancur dijadikan sebagai tempat berkemah. Dan banyak orang yang berkemah ke sini. Kebetulan Pancur menjadi titik pemberangkatan jika kita ingin menuju G Land atau Pantai Plengkung. Katanya, Plengkung ini indah dan menarik dan wajib dikunjungi kalau ke Alas Purwo! Ah sayangnya, aku tak bisa kesana, karena harus ke beberapa destinasi wisata yang lain :(

Tapi, jangan sedih! Sebelum meninggalkan Alas Purwo aku sempat menyambangi Pulau Trianggulasi! Duh namanya, susah ya untuk diingat dan diucapkan! Tapi tidak dengan view-nya!






Kalau kamu mau menikmati liburan yang damai dan menenangkan di Pantai Trianggulasi, di sini juga tersedia Guesthouse loh :))

Yuppppppp,,, kita masuk sesi destinasi wisata yang terakhir ku kunjungi di area Alas Purwo! Dan aku paling excited dengan bangunan, budaya dan sejarah yang melingkupi tempat ini!


Situs Kawitan


Pura Luhur Giri Salaka

Ini dia tempat yang paling misterius dan ingin ku ulik lebih dalam tentang kisah, sejarah dan peradabannya dahulu kala! Konon, Situs ini adalah pura tertua di Tanah Jawa, dan menjadi sejarah Hindu-Jawa di tanah ini. Penasaran dengan sedikit kisah yang berhasil ku ulik tentang Situs ini yuk baca Kisah Hindu-Jawa di Ujung Timur Pulau Jawa
.

Usai sudah aku menjejakkan langkah kaki ku di Alas Purwo! Tempat ini, layak untuk menjadi wish list destinasi wisata mu loh! Satu tempat beragam wisata!

Menelusuri Kisah Hindu-Jawa di Ujung Timur Pulau Jawa

Sudah tahukah kamu di mana ujung timur Pulau Jawa?
Banyuwangi! Ya, Banyuwangi adalah daerah paling timur dari kawasan Pulau Jawa.
Kebanyakan orang mengenal Banyuwangi karena Gunung Ijen, dan sayang sekali masih teramat sedikit orang yang mengenal Situs Peradaban Hindu Jawa di kota ini.

Siapa sangka, "The Sunrise of Java" menyimpan Situs tertua di Pulau Jawa yang merupakan Peradaban Hindu Jawa tertua di Pulau ini.

Kira-kira di mana ya Situs itu? Kebetulan hari ini aku telah meng-explore situs ini bersama rombongan FAM TRIP Kemenparekraf, So, Let's check it out!


Yup! Ini Dia Situs Kawitan, Situs Tertua di Tanah Jawa

Jadi gimana ya ceritanya tentang Situs Kawitan ini?

Konon ceritanya, Pada masa Kerajaan Majapahit ketika melakukan penyebaran agama Islam, para pemeluk agama Hindu yang tak mau beralih agama, menyingkir dari wilayah kekuasan Majapahit di Tanah Jawa, ke dalam hutan, di area Banyuwangi Selatan, yang kini menjadi area Alas Purwo. Para pemeluk agama Hindu ini mendirikan Pura di Situs Kawitan ini. Lebih jauh lagi, masyarakat Hindu Jawa ini juga bergeser ke Bali.

Kawitan sendiri dari bahasa Jawa yang berarti awal atau asal mula. Karena pura ini adalah pura yang pertama di tanah Jawa sebelum ada pura-pura lain yang dibangun. Masyarakat Hindu di area Alas Purwo diyakini sebagai masyarakat Hindu Jawa tertua di Indonesia.


Situs Kawitan Tampak Depan (Telah Dipugar)


Area Persembahan


Meja Persembahan


Persembahan


Pintu Gerbang Kerajaan Metafisik (Kerajaan di Alam Lain), (Bebatuan ini Masih Asli)

Situs Kawitan ini juga menjadi wisata religi bagi masyarakat Hindu Bali. Seringkali masyarakat Hindu Bali bertandang ke situs ini setiap momen/ritual keagamaan dan juga pada malam-malam bulan purnama.

Para masyarakat Hindu Bali yang melakukan ritual keagamaan di Situs Kawitan akan singgah di Pura Luhur Giri Salaka yang berlokasi beberapa ratus meter dari Situs Kawitan.




Pura Luhur Giri Salaka Tampak Depan


Uang Bolong yang terpasang di wajah patung ini menandakan telah diadakan upacara di tempat ini. Uang bolong merupakan uang Bali atau disebut juga uang benggol


Bale Pertemuan


Rumah Singgah para wisatawan religi dari Bali

Usai sudah secuil cerita tentang situs Hindu Jawa di Alas Purwo! Nantikan cerita-cerita unik dan seru lainnya yang tersembunyi di Alas Purwo ;)