Suatu malam, aku melihat informasi di linimasa twitter tentang “A Walk to Understand the Diversity of Beliefs, faiths, and Religions in Indonesia.” Sungguh, aku ingin sekali ikut serta dalam perjalanan itu, untuk menjelajahi keberagaman kepercayaan di Indonesia dengan menyambangi rumah-rumah ibadah berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia. Sayangnya, saat itu aku belum berjodoh dengan kegiatan tersebut. Terbesit rasa kecewa dan keinginan untuk mencari kegiatan serupa.
Dan, Tuhan memang maha baik, di tengah kekecewaan dan keinginan yang tak terbendung untuk menjelajahi beragam tempat ibadah, klub buku dan blogger dari Backpacker Jakarta menyelenggarakan kegiatan sehari menjelajah kebhinekaan yang dikemas dalam acara “Walking Diversity Tour.”
Pagi itu, di saat warga di luar DKI Jakarta melakukan Pilkada, kami para pekerja yang mendapat keuntungan libur dadakan karena Pilkada, langsung memanfaatkan kesempatan ini buat melangkahkan kaki untuk menjelajah kebhinekaan nusantara yang terepresentasikan melalui tempat-tempat ibadah di Jakarta. Rabu, 27 Juni 2018, untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di pura, gereja dan kuil kepercayaan khrisna, rumah ibadah yang bukan menjadi tempatku bersujud dan menengah kepada Tuhan.
Tempat pertama yang didatangi pagi itu adalah Pura Adhitya Jaya di Rawamangun, Jakarta Timur. Pura ini menjadi pura terbesar di Jakarta yang menjadi tempat peribadatan umat Hindu memanjatkan doa pada Sang Hyang Widhi. Sebuah tempat ibadah yang mengesankan suasana Bali dengan segala keasrian, kesejukan dan kekentalan budayanya.
Kunjungan ke pura ini menjadi sangat berkesan dan terasa berbeda dengan kunjungan-kunjungan lain. Dalam kunjungan ini kami dapat bertukar sapa dan berdialog langsung dengan Pandita Agung Graha. Pesan-pesan sederhana namun sangat erat dan lekat dengan keseharian kita sebagai umat manusia menjadi bahan diskusi kami pagi itu. Sebagai umat manusia, apa pun agama yang diyakini dan dianut, kita memiliki perannya masing-masing baik kepada sesama umat manusia atau pun kepada Tuhannya masing-masing. Bisa saja kita adalah seorang anak, pekerja, relawan, tokoh agama, namun kita tetaplah menjadi umat Tuhan Yang Maha Esa.
Sepasang Umat Hindu Menyembahkan Doa pada Sang Hyang Widhi |
Satu pesan yang hingga kini masih ku ingat dari beliau adalah “Ibadah itu urusan kamu dengan Tuhanmu, yang penting niat dan ketulusanmu untuk berdoa.” Ya tentu, bagaimana pun perangai kita, berdoa adalah perihal urusan niat dan ketulusan hati pada Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Usai perbincangan dengan Pandita Agung Graha kami beranjak menuju Masjid Ramlie Musofa. Sebuah masjid layaknya Taj Mahal India yang dibangun oleh soerang mualaf Tionghoa. Masjid ini bisa kita jumpai di depan Danau Sunter, Jakarta Utara.
Penamaan Masjid Ramli Musofa ini pun memiliki arti tersendiri bagi keluarga Pak Ramli. Karena, penamaannya diambil dari nama keluarganya.
Ram : Ramli Rasidin
Lie : Lie Njoek Kim
Mu : Muhammad Rasidin
So : Sofian Rasidin
Fa : Fabianto Rasidin
Bersama mereka, Klub Buku dan Blogger, aku menjelajah Kebhinekaan |
Kebanyakan dari kita mengenal dan mengetahui lima agama yang diakui pemerintah bukan? Tapi, ada banyak kepercayaan-kepercayaan yang masih hidup dan dijaga oleh para penganutnya di Indonesia. Salah satunya adalah Hare Khrisna (Kesadaran Khrisna).
Kami sempat menyambangi kuil Kuil Sri Nilacala Jagannatha Ksetra Dhama, sebuah kuil untuk beribadah bagi pengantu ajaran Hare Khrisna. Kuil ini berada di Jalan Pasar Baru Selatan No. 7F, Jakarta Pusat. Siang itu, kami dapat sedikit berbincang dengan salah satu tokoh agama di sana. Sayangnya, pengetahuanku belum cukup juga untuk menangkap lebih jauh tentang ajaran ini. Untuk memuaskan rasa penasaranku, aku mencoba mencari berbagai referensi informasi tentang ajaran ini. Sayangnya, informasi yang tersedia di mesin pencari masih sangat minim.
Sedikit informasi yang bisa kudapat dari ajaran ini adalah, Hare Khrisna merupakan kerohanian yang diikuti oleh masyarakat Vaisnava yang didirikan pada zaman peradaban Weda di India. Ajaran kerohanian ini bersumber dari percakapan suci antara Arjuna dengan Persona Tuhan Yang Maha Esa, Sri Khrisna. Makna dari ajaran Hare Khrisna ini adalah Kesadaran akan Persona Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, Sri Khrisna.
Ajaran ini telah tersebar ke berbagai penjuru dunia. Di Indonesia, ajaran ini disebut Sampradaya Kesadaran Khrisna Indonesia berada di bawah naungan Parisada Hindu Darma. Ajaran ini berpusat di Denpasar.
Peribadatan Umat Hare Khrisna Foto di ambil di sini |
Jika kamu ingin melihat secara langsung, para umat Hare Khrisna beroda, buatlah janji terlebih dulu dengan pengurus kuil Hare Khresna. Maka kamu akan mendapatkan jadwal peribadatan mereka dan mendapatkan waktu kunjungan yang direkomendasikan oleh pihak pengurus Hare Khrisna.
Selanjutnya, kami menuju Gereja Katedral. Sungguh, gereja adalah tempat ibadah yang sangat menarik perhatianku dari dulu. Aku penasaran dengan tempat ini dan ingin sekali memasuki ruangan peribadatannya. Setelah memendam rasa penasaran ini bertahun-tahun lamanya, akhirnya di hari ini aku bisa memuaskan rasa penasaranku.
Muka Gedung Geraja Katedral |
Geraja ini adalah gereja yang menjadi tempat peribadatan umat Katholik. Bangunan ini diresmikan pada tanggal 21 April 1901 kental dengan gaya neogothik Eropa. Saat mengunjungi gereja ini aku memasuki ruang ummat yang menjadi tempat peribadatan utama umat Katholik di gereja ini, Goa Maria yang juga menjadi tempat ibadah dan menyerupai Goa Maria di Lourdes Perancis, dan melihat museum katedral sekilas. Karena memang, sangat disayangkan, sore itu museum katedral sedang tidak menerima kunjungan.
Ruang Ummat |
Goa Maria |
Hari sudah semakin sore, matahari mulai terbenam dan menorehkan warna senja di ufuk barat. Dan kami pun mengakhiri jelajah kebhinekaan ini di Masjid Istiqlal yang berada tepat di seberang Gereja Katedral. Sebuah gambaran kebhinekaan dan toleransi yang indah di Nusantara!
Selamat memaknai kebhinekaan dan memupuk rasa keberagaman.