Ceritaku di Desa Adat Baduy

Pagi itu aku dan beberapa teman dari Jakarta dan Bandung bersiap melakukan perjalanan menuju Desa Adat Baduy. Desa Adat? Ya, desa Baduy memang dinobatkan sebagai desa adat karena masyarakat desa Baduy, terutama desa Baduy Dalam masih menjungjung tinggi dan menjaga adat tradisi para leluhur. Masyarakat Baduy masih tinggal di dalam rumah tradisional yang terbuat dari bilik bambu, dan berbentuk panggung. Baju yang dikenakan juga baju khas baduy yakni kain samping ares dan baju putih atau hitam, serta ikat kepala.

Sore hari mobil kami sampai di Pintu Gerbang Ciboleger. Tembok pembatas antara desa Baduy dan peradaban dari dunia luar. Ya, karena di sini lah titik terakhir kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, mendapatkan sinyal telfon dan jaringan internet yang masih bagus, akses pasar, mini market, kamar mandi dan listrik. Ketika kita sudah melewati gerbang dan memasuki desa Baduy? Oh tidak lagi! Tidak ada lagi pasar, toko, sinyal telfon dan internet (susah sekali mendapatkannya), dan kamar mandi pun amat sangat terbatas hanya beberapa rumah yang memiliki kamar mandi. Beberapa orang-orang di Baduy Luar menggunakan lampu solar untuk penerangan di malam hari, dan masih ada beberapa yang menggunakan ceplik (lampu minyak), sedangkan di Baduy Dalam semuanya menggunakan ceplik/lampu minyak.


Patung Selamat Datang di Ciboleger
Foto oleh Wulan

Dari Pintu Gerbang Ciboleger menuju Desa Balimbing di Baduy Luar kita tempuh dengan berjalan kaki. Jalanannya masih tanah, licin, dan turun hujan saat itu. Aku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, terutama di dataran tinggi begini merasa sangat kewalahan, apalagi dengan beban carrier 50L dan turun hujan! Aku sempat terhenti di tengah perjalanan untuk menghela nafas dan menjatuhkan ke carrier ke tanah! Ahh, aku sudah sangat lelah. Tapi teman-teman yang lain membantuku dan kita melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju Desa Adat Baduy itu sungguh penuh perjuangan!

Akhirnya, petang hari kami sampai di rumah Kang Sarpin, ayah Mul di Desa Balimbing, kita singgah dan tinggal di sini selama di Baduy. Kang Sarpin, bisa dibilang adalah salah satu tokoh pemuda dari Baduy Luar. Kang Sarpin sudah sering menerima tamu dari kota.


Kami, berada di jembatan yang memisahkan desa balimbing dengan desa gazebo
Foto oleh Agung

Desa-desa di Baduy baik di Baduy Luar maupun di Baduy Dalam dipisahkan oleh sungai dan disatukan oleh jembatan yang dibuat dari kayu bambu.


Bersama dengan Ayah Mursyid, Jaro Parowari/Humas dari Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berwarna putih), Kang Nalim, salah satu warga Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berbaju hitam), dan Mul, salah satu pemudah di Desa Balimbing, Baduy Luar (mengenakan iket kepala khas baduy)
Foto oleh Agung


Mul meneteskan getah batang kisereh di mata Aldi. Batang kisereh merupakan salah satu tanaman mengobati sakit mata dan menjernihkan mata
Foto oleh Agung

Masyarakat baduy tidak melakukan pengobatan dan pemeriksaan ke dokter atau bidan, mereka (terutama masyarakat Baduy Dalam) dilarang mengikuti modernitas, mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia dan menggunakan sabun. Masyarakat baduy menggunakan tanaman-tanaman untuk pengobatan tradisional dan menggunakan batu untuk menyikat gigi mereka dan tak menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci.


Ladang Huma di Baduy Luar
Foto oleh Agung

Pekerjaan utama masyarakat baduy adalah bertani. Mereka menanam padi setahun sekali di ladang huma. Selain padi mereka juga menanam sayuran, cabai, jagung dan umbi-umbian.


Perjalanan dari Desa Balimbing (Baduy Luar) menuju Desa Cibeo (Baduy Dalam)
Foto oleh Agung


Kegiatan Menenun oleh Wanita Baduy
Foto oleh Fikri

Wanita Baduy, (terutama di baduy luar) setiap sore menenun di teras rumahnya. Setiap wanita di baduy seyogyanya bisa menenun, dan kegiatan menenun ini hanya dilakukan oleh para wanita.


Jembatan yang memisahkan desa-desa di Baduy Luar
Foto oleh Fikri


Kegiatan memasak bersama dengan warga baduy luar (Kang Sarpin beserta istri)
Foto oleh Oase


Rumah tradisional masyarakat Baduy Luar
Foto oleh Agung


Leuit, tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy
Foto oleh Agung

Leuit merupan tempat penyimpanan padi atau lumbung padi bagi masyarakat baduy. Leuit ini bisa menyimpan padi hingga berumur 100 tahun. Masing-masing kepala keluarga memiliki 1-2 buah leuit. Leuit (padi) ini merupakan salah satu bentuk simpanan kekayaan mereka. Leuit ditempatkan secara berkelompok, terpisah dengan desa/rumah asal pemilik untuk menghindari bencana/kebakaran.


24 Hari Menjelajah Indonesia Timur

Part 1: Kisahku di Aboru, Indonesia yang Ter-anak-tiri-kan
Gedung Gereja Bethel, Aboru


Gereja Bethel, Rumah Ibadah di Aboru

Malam ini aku menonton bisoksop misbar “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” dalam rangkaian acara FILARTC.
Film ini mengingatkanku akan perjalanan 2 tahun silam ke pelosok-pelosok Indoensia Timur.
Tanah merah di Ambon dan Aboru di Pulau Haruku, Maluku Tengah, salah dua dari beberapa tempat indah namun tersembunyi di Indonesia Timur.

4 - 28 Juni 2013 aku ikut rombongan untuk menyapa Saudara-saudara di Timur Indonesia.
Mengarungi laut dengan menggunakan KRI Banjarmasin 592, bersama dengan para TNI AL RI, adalah pengalaman yang sungguh baru bagiku.

Aku berlabuh diberbagai tempat untuk mengenal dan menyapa saudara-saudara di Indonesia Timur. Hari kesekian selama perjalanan mengarungi lautan, Aku Sampai di salah satu pelabuhan besar di Ambon.

Perjalanan masih panjang. Tujuan rombongan kami adalah ke Abouru. Kami harus menuju Pelabuhan Tulehu, pelabuhannya kecil. Dan aku melihat kembali pelabuhan ini setelah sekian lama, dalam film “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”.

Pelabuhan Tulehu


Sampai di Pelabuhan Tulehu

Pelabuhan Tulehu


Perjalanan menuju Aboru itu sungguh sulit. Dari pelabuhan Tulehu masih harus melanjutkan perjalanan darat dengan menggunakan truk atau pick up.

Perjalanan darat menggunakan pick up


Perjalanan Menuju Aboru

Menuju Aboru memang sulit dan payah. Tanahnya merah dan basah, dan juga licin pastinya. Ada rasa dan waswas selama dalam perjalanan. Tapi pemandangan alam yang menakjubkan bagai penawar yang tiada kira.

Di Aboru, rombongan kami melakukan bakti sosial. Aku sendiri adalah tim pengajar untuk adik-adik di Aboru. Kami membuat games untuk adik-adik, dan sedikit mengenalkan tentang Negara Indonesia pada mereka.

bermain dengan anak-anak dan warga Aboru


Bermain Games dengan Adik-Adik di Aboru

Seusai kegiatan pengajaran semua adik-adik digiring ke bale adat untuk mendengarkan cerita dari pimpinan rombongan. Beliau dari Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Rombongan Safari Bhakti Kesetiakawanan Sosial Bersama Masyarakat Aboru di Bale Adat

Rombongan kami bermalam di Aboru. Aku dan beberapa teman menginap di rumah penduduk setempat. Dari obrolan-obrolan kami, barulah aku tahu, bahwa Aboru dulu dikenal sebagai sarang pemberontak yang ingin mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan). Mereka merasa di-anak-tiri-kan oleh Indonesia. Merasa kekurangan, miskin, tidak memiliki akses pendididikan, transportasi, atau bahkan listrik. Bantuan silih berganti tapi bukan dari Indonesia. Tetapi dari Belanda. Banyak orang-orang Aboru yang pindah ke Belanda katanya.

Tapi, mamak di sini bilang, banyak warga Aboru yang tetap cinta Indonesia, mereka tetap ingin menjadi bagian Indonesia. Tidak ingin memisahkan diri. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, hanyalah ungkapan protes, bahwa Aboru ada, Aboru adalah bagian dari Indonesia, yang ingin turut juga diperhatikan.

Pada saat perjalanan ke pelabuhan di sisi wilayah yang lain untuk kembali ke Ambon, perjalananku disuguhkan dengan pemandangan baru yang sama sekali berbeda dengan perjalanan ketika berangkat.
Jika di Aboru, kita tinggal dan menetap di pemukiman umat kristiani. Perjalanan kali ini kita melewati pemukiman umat muslim. Dan sungguh, pemukiman antar umat memang dipisahkan secara geografis.
Masih tersisa benih-benih perselisihan antar agama, ketika ada seorang muslim yang menanyai kami, kenapa kami singgah di pemukiman umat kristiani? Tidak di sini (di pemukiman umat muslim) saja?

Babu Backpacker: Kisah TKI yang Menjelajah 3 Negara!

Saat pertama kali aku ditawari untuk membaca buku ini aku bingung, dan mungkin sedikit merutuk.
Kenapa judulnya babu backpacker? Aku suka jalan-jalan, traveling, backpackeran.
Ditawari untuk membaca buku tentang kisah perjalanan seseorang menjelajah planet bumi tentu aku menyambutnya dengan antusias! Tapi babu? Apa arti babu di sini? Apa seseorang yang menjadi budak traveling? Atau seseorang yang sudah terlalu menghamba dengan dunia traveling?

Akhirnya, malam ini aku menerima paket buku “babu backpacker” karya Aisy Laztatie, dkk disunting oleh Pipiet Senja dan mulai membacanya lembar demi lembar.

Ketika membaca prolog buku ini, barulah aku tahu bahwa babu di sini adalah para TKI di Malaysia yang melakukan perjalanan selama 8 hari ke 3 negara sekaligus!

Tak ku sangka sungguh! Jikalau buku ini akan menceritakan kisah para TKI Malaysia yang melakukan perjalanan wisata ke berbagai negara! Jujur aku salut dan kagum dengan keteguhan hati mereka yang berusaha sekuat mungkin untuk melakukan perjalanan ke berbagai negara. Sedangkan aku sendiri saja yang mengenyam pendidikan hingga kuliah dan sudah bekerja menjadi karyawan swasta belum pernah melangkahkan kaki ke negara mana pun selain menjelajah beberapa tempat di tanah air Indonesia.

Barulah beberapa tahun belakangan ini aku gandrung dengan dunia traveling. Dunia yang memberikan pengalaman baru, pengetahuan baru, kebahagiaan baru. Dunia yang bisa menjadi obat, atas semua rasa sakit dan sedih yang lekat dalam hati.


Babu backpacker!

Desi Lastati seorang Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di Negeri Jiran. Ia menguatkan tekat dan niat untuk menjelajah 3 negara Asia Tenggara di masa liburannya.
Desi bersama temannya Febri menjelajah Vietnam, Kamboja dan Thailand dalam waktu 8 hari! Waktu yang amat sempit tentunya. Dan lagi, Desi menyempatkan diri mampir ke Jakarta sebelum akhirnya kembali lagi ke Negeri Jiran.

Banyak kisah dan tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi selama traveling perdana mereka. Bertemu dengan banyak orang, dengan masyarakat lokal yang unik dan memiliki adat istiadat tersendiri. Dan tentu juga bertemu dengan sesama backpacker dari berbagai negara selama perjalanan.
Selama 8 hari, Desi dan Febri mengunjungi Hanoi, Halong Bay, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, dan Bangkok.

Dari Bangkok Desi terbang ke Jakarta sendiri untuk menghadiri undangan seminar ketenagakerjaan dan kemudian kembali lagi ke Negeri Jiran untuk berjibaku dengan tugas dan kewajibannya sebagai TKI.
Selain kisah Desi dan Febri, dalam buku ini juga menceritakan kisah dan pengalaman lain yang tak kalah menarik dari para TKI yang bekerja di Malaysia. Kebanyakan dari mereka menceritakan kisah mereka ketika mengeksplor Negeri Jiran, tetapi ada juga yang menceritakan kisah travelingnya di Singapura dan di bumi Nusantara, Indonesia.

Ada yang bercerita tentang Kampung Soeharto di Felda Sungai Dusun yang kemudian berubah menjadi Felda Soeharto. Kunjungan ke Masjid Nasional Malaysia, Highland Cameron, Putrajaya, Genting Highland, Ipoh Perak, Kuala Lumpur Convention Center, Pulau Langkawi, I City Shekh Alama, Pantai Teluk Batik. Yang semuanya merupakan tempat-tempat di Malaysia.
Ada juga seorang TKI yang menceritakan kisahnya bertualan seharian di Singapura, berwisata ke Karimun Jawa dengan para sahabat ketika kembali ke tanah air dan yang berwisata Air di Klaten.

Banyak tempat-tempat menarik yang diceritakan dalam buku ini. Sehingga, bisa menjadi referensi ketika ingin berkelana ke beberapa negara di Asia Tenggara yang disebutkan di dalam buku ini.
Dalam setiap perjalanan yang diceritakan, ada satu kesamaan! Perencanaan Perjalanan! Ini penting sekali. Bagaimana kita akan mengatur perjalanan, memilih destinasi yang menarik dan mengatur pengeluaran sehemat mungkin.

Hanya saja, novel ini masih ada yang perlu diperbaiki. Mulai dari kesalahan pengetikan, atau penggunaan bahasa Indonesia yang tercampur dengan bahasa melayu tapi tidak disertai dengan pemaknaan dari kalimat tersebut.

But, I really enjoy to read this book! Seperti menjelajah negara-negara dan tempat-tempat indah yang mereka kunjungi.



Situ Babakan, Kampung Budaya Betawi!


Pintu Gerbang Perkampungan Setu Babakan

Situ Babakan adalah suatu cagar budaya yang terletak di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Situ berarti danau dalam bahasa Sunda, dan memang Situ Babakan diapit oleh dua buah danau.

Pada tahun 2004, daerah ini dijadikan Pusat Perkampungan Betawi dikarenakan masih banyaknya perkampungan Betawi asli di daerah ini.

Di wilayah ini dapat disaksikan keseharian masyarakat setempat seperti budidaya ikan, pemancingan, bercocok tanam, perdagangan, pembuatan kerajinan tangan dan pembuatan makanan khas Betawi seperti dodol Betawi dan Bir Pletok.

Selain itu, di daerah ini juga sering diselenggarakan acara kesenian Betawi seperti Tari Cokek, Tari Topeng, Lenong, tanjidor, gambang kromong, gamelan topeng, pencak silat Betawi dan Ondel-Ondel pada panggung terbuka.

Aku sendiri sudah beberapa kali ke perkampungan Betawi ini. Namun, aku masih sedikit bingung kalau harus ke sana dengan transporasi umum. Beberapa kali aku kesana, aku menggunakan bus Transjakarta dan turun di Halte Departemen Pertanian, kemudian menuju Kampung Setu Babakan bersama teman menggunakan sepeda motor. Dan itu masih jauuuhhh :D

Dari pintu gerbang kampung setu babakan ke kampung budaya dan wisata Setu Babakan terbilang masih cukup jauh. Setelah memasuki pintu gerbang dan menuju setu babakan kita akan melihat beberapa rumah yang masih berciri khas rumah betawi, menggunakan lisplang gigi belalang, bercat hijau, identik dengan betawi. Namun jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding dengan rumah-rumah lainnya yang sudah modern.

Selain itu, kita juga akan menemukan pabrik pembuatan bir pletok! Pabrik ini adalah industri rumahan. Jangan bayangkan kalau pabrik ini berupa bangunan besar seperti pabrik-pabrik di kota. Hanya rumah biasa dengan halaman yang cukup luas. Aku hanya melewati pabrik ini, belum sempat masuk mengunjungi pabrik bir pletok ini. But, next time, I want to visit this place :D

Memasuki area kampung budaya sekaligus kampung wisata Setu Babakan kita hanya cukup membayar tiket parkir sebesar Rp. 2000,00 dan bisa menikmati setu babakan sepuasnya. Melihat danau, wisata kuliner, melihat rumah-rumah adat betawi, dan jika beruntung kita bisa melihat pertunjukan budaya yang biasanya diselenggarakan setiap akhir pekan. Kita juga bisa menaiki bebek-bebekan untuk berwisata mengelilingi danau (setu) babakan. Cukup membayar Rp. 10.000,00 - Rp. 15.000,00 :D

Pada saat aku berkunjung ke Setu Babakan beruntung sekali, ada sekolah dari Bandung yang sedang mengadakan field trip ke sini,sehingga banyak kegiatan yang diadakan hari ini. Ada pembuatan bir pletok, pembuatan kerak telor, pembuatan ondel-ondel, dan belajar menari tari sirih kuning.


Belajar Tari Sirih Kuning

Jika kita ke Kampung Setu Babakan, sudah pasti kita bisa melihat rumah adat Betawi. Ada tiga jenis rumah adat betawi di sini, yaitu Rumah Kebaya, Rumah Joglo dan Rumah Gudang.


Rumah Gudang


Rumah Gudang


Rumah Gudang


Rumah Joglo


Atap Rumah Kebaya


Rumah Kebaya

Dari Mana yah Asal Muasal Budaya Betawi?



Kebudayaan Jakarta merupakan budaya mestizo, atau sebuah campuran budaya dari beragam etnis. Sejak zaman Belanda, Jakarta merupakan kota yang menarik pendatang dari dalam dan luar Nusantara. Suku-suku yang mendiami Jakarta antara lain, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan Bugis. Selain dari penduduk Nusantara, budaya Jakarta juga banyak menyerap dari budaya luar seperti budaya Arab, Tiongkok, India dan Portugis.

Pendatang-pendatang yang datang ke Batavia baik dari nusantara maupun dari berbagai Negara lain memberikan pengaruh kebudayaan yang kuat. Perlahan tapi pasti kebudayaan di Batavia semakin semarak, karena setiap etnis yang datang juga membawa dan mempengaruhi kebudayaan di Batavia.

Misalnya saja, budaya penyalaan petasan, Lenong, Cokek hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah dipengaruhi oleh budaya Tionghoa.

Musik gambus dari etnis Arab pun mempengaruhi warna music marawis dan tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Tiongkok (China), Melayu dan Arab.

(Dari berbagai sumber)

Batavia and Betawi??? Sound similar right?



Asal mulanya keberadaan orang Betawi dibentuk oleh Husni Tamrin Samratulangi yang terdiri dari berbagai etnis di Nusantara yang bermukim di Batavia termasuk orang Tiongkok (China), Arab, India, Portugis dan negara-negara lain pada tahun 1920-an dengan nama Komunitas Batavia, namun bergeser namanya menjadi kaum Betawi. Jadi kaum Betawi/etnis Betawi ini merupakan campuran dari berbagai etnis di nusantara dan orang asing tersebut, sehingga budaya dan bahasanya juga merupakan perpaduan dan percampuran dari etnis-etnis tersebut.

Penduduk Batavia disebut "Batavianen", kemudian dikenal sebagai suku "Betawi", terdiri dari keturunan dari berbagai etnis yang menghuni Batavia.

(Dari berbagai sumber)

Menelisik Uniknya Buitenzorg



Suatu pagi di hari Sabtu tertanggal 7 Maret 2015, aku sudah melangkahkan kaki ku keluar dari kosan menuju Stasiun Sudirman. Duduk manis di sederetan bangku di peron 2, menunggu Chandra dan Dodo, kemudian menaiki commuter line ke arah Bogor. Tiba, di stasiun Bogor dan sudah ada 14 orang lainnya, rombongan Culture Trip ID. Ya, kami hendak berjalan-jalan menelisik kota Buitenzorg.

Buitenzorg? Apa yah? Terdengar asing di telinga, apa ini Indonesia? atau di luar negeri? Tentu ini Indonesia! Tak mungkin ke Buitenzorg, kalau ada di luar negeri, hanya dengan menaiki commuter line bukan? :D


"Lambang Buitenzorg Zaman Dulu"

Buitenzorg adalah penamaan Belanda untuk kota hujan, Bogor! Buitenzorg sendiri artinya kota tanpa kecemasan (bahasa belanda). Karena, pada zaman dulu, ketika para penjajah merasa penat di tengah ibu kota, mereka melarikan diri ke kota ini, kota yang tenang, damai dan tanpa kecemasan. Unik sekali bukan sejarah penamaan kota Bogor ini?

Oke, penamaan kotanya saja sudah sangat unik, lalu ada apa lagi yang unik di kota hujan ini?
Rombongan kami memang berencana berjalan-jalan di Kota Bogor. Bukan sekedar jalan-jalan atau wisata biasa, melihat pemandangan alam, nge-mall atau berkulineria! Kami hendak melakukan perjalanan wisata budaya!
Perjalanan wisata budaya? Apa lagi itu? Sepertinya masih banyak yang belum tahu kan? Aku juga baru menemukan jenis wisata semacam ini belakangan, ketika aktif di komunitas Sobat Budaya Jakarta (komunitas anak muda yang membawa misi pelestarian budaya tradisi Indonesia melalui pendataan budaya).

Wisata budaya atau culture trip, juga merupakan salah satu jenis traveling, seperti pilihan traveling ke pantai, ke gunung, atau perjalanan mengelilingi kota. Pilihan traveling ini, adalah mengunjungi objek-objek budaya di suatu daerah.

Perjalanan culture trip kali ini adalah melangkahkan kaki di sudut-sudut kota hujan, menelisik kekayaan budayanya yang masih tersembunyi.

Destinasi pertama! Pabrik Tahu Raos. Pabrik tahu ini sudah berdiri sejak tahun 1970-an dan diteruskan oleh keturunan keluarga. Di sini, kita belajar proses pembuatan tahu raos. Dan tentu mencicipi tahunya! Rasanya enak, asin dan sangat lembut! Berbeda dengan tahu-tahu yang pernah kucicipi di Jakarta.
Penasaran bagaimana proses pembuatan tahu raos ini? Bisa lihat video amatiran ini ya, hasil wawancara dengan si akang yang kini menjalankan bisnis pabrik tahu raos.


"Seorang Akang sedang memasak olahan kedelai di Pabrik Tahu Raos"

Destinasi berikutnya, Kampung Wayang Golek “Enday Art” di Bogor Barat. Di sini, kami melihat dan belajar proses membuat wayang, dari kayu … dipahat menjadi berbentuk rama, shinta, cepot, atau tokoh-tokoh wayang lainnya, hingga proses pewarnaan dan pemasangan busananya. Kami pun berkreasi mewarnai wayang golek kami sendiri. Rasanya tentu menyenangkan!


"Mejeng di samping hasil karya wayang golek Kang Enday"

Di sini kita tidak saja bisa belajar membuat wayang, tetapi juga bisa belajar menabuh gamelan bersama Kang Enday. Ada seperangkat alat gamelan, kenong, gong, kendang yang terjejer di teras workshop “Enday Art”

Hari sudah semakin siang, perut sudah meraung minta diisi :D, maka beranjaklah kita ke Taman Wisata Kencana untuk berburu kuliner yang dijajakan di sepanjang jalan. Di sepanjang jalan, banyak pilihan kuliner dari cita rasa tradisional dan modern, dari yang murah hingga yang bisa merogoh kocek dalam-dalam.

Destinasi akhir perjalanan kali ini, Pemandian Air Panas di Kaki Gunung Kapur di Ciseeng. Sesampainya di lokasi, kami mengeksplor tempat wisata ini. Ada banyak wahana yang tersedia di sini, dari fasilitas outbond, trekking gunung kapur, pemandangan sawah, dan tentunya fasilitas pemandian air panas.

Beruntung aku sudah sempat menanjak, melewati trekking gunung kapur dan mengabadikan momen di atas gunung kapur yang memiliki ketinggian beberapa ribu MDPL. (Akhirnya setelah sekian kali gagal kemping dan naik gunung, sekarang aku sudah menaklukan gunung kapur! Hahahah :D, tapi sungguh, trekking gunung ini jauh jauh jauh lebih mudah dan mudah dilalui, dan juga tidak terlalu tinggi :p)

Air di pemandian air panas ini mengandung belerang, sulfur dan garam, bisa menjadi obat dan menyehatkan. setelah seharian berkeliling, dan sudah menapakkan ribuan langkah di kota hujan, kini waktunya memanjakan tubuh! Berendam dengan air panas ini sungguh menyenangkan. Menyantaikan tubuh, menjernihkan pikiran, dan memberikan ketenangan.

Hari sudah gelap! Mari pulang…

Sepuluh Tips Traveling


Haiii guys, siapa yang suka traveling??? Kayanya, hampir semua orang di muka bumi ini suka traveling yah! Menyayangkan banget kalau ada orang yang ga suka traveling, sayang ga dapet kenalan baru, sayang ga dapet pengalaman baru, sayang ga dapet cerita baru,sayang ga dapet foto-foto baru! hehehe :p

Persis seperti quote yang dikutip dari Hipwee nih;

Hanya perjalanan yang mampu meninggalkan jejak mendalam yang tidak mudah dilupakan. Dari pengalaman, selama perjalanan itu, kita bisa mengenal orang baru, mencoba hal-hal yang dulu kita takuti.

Kalau aku suka banget dong sama traveling! Traveling itu bagai candu dan bisa menjadi tempat pelarian terbaik dari segala macam problema dan hiruk pikuk hidup! Halahhh

Nah, kira-kira tips apa aja ya, yang perlu kita tahu sebelum traveling? Supaya traveling kita nyaman dan memudahkan perjalanan kita, then let's check it out 10 Tips on Traveling from Hipwee.


  1. Hindari pergi di hari Sabtu, Minggu, Senin, atau saat Hari Libur Nasional. Karena saat itu semua orang ingin plesiran
  2. Demi tiket murah di tangan, bersahabat baiklah dengan aplikasi traveling yang infonya up to date setiap waktu
  3. Light weight packing bisa tercapai asal kamu mau mencuci. Jadi kamu tak perlu bawa baju sesuai jumlah hari
  4. Gulung saja seluruh baju, agar space kosong lebih luas di dalam tasmu
  5. Hoodie andalan jangan sampai ketinggalan. Dia bisa berubah jadi bantal selama perjalanan
  6. Masukkan sabun batangan ke dalam laundry bag-mu , biar tas atau koper tidak terkontaminasi aroma pakaian kotor
  7. Demi kewarasan, letakkan charger dan seluruh kabelmu dalam tempat kacamata. Kamu tak lagi harus membongkar tas untuk menemukan mereka
  8. Biar tak ada yang bermuram durja — jangan lupa bawa “Colokan T” atau “Rol Kabel” yang berfungsi dewa
  9. Bosan dibilang pelit karena tidak bagi-bagi buah tangan? Foto polaroid bisa jadi oleh-oleh unik yang tak menggerogoti kantungmu
  10. Sudah tahu kapan akan pergi? Jangan ragu memesan tiketmu lewat aplikasi pencarian tiket yang sedang menawarkan potongan harga menarik

Nah, begitulah kira-kira ya guys tips travelingnya! Boleh juga share tips traveling kamu via comment :))

Happy Travel Around :))