Saung Angklung Udjo: Laboratorium Pelestarian Budaya Sunda

Senin, 9 Juni 2014

Subuh hari aku sudah meluncur menuju Detos (Depok Town Square)! Bukan untuk berbelanja pastinya, tapi untuk membawa rombongan yang akan menghadiri acara Launching Gerakan Sejuta Data Budaya di Saung Angklung Udjo, Bandung. Mereka kebanyakan adalah mahasiswa UI dari berbagai paguyuban daerah, dan ada juga para kang-nong, dan saija-adinda dari Banten. Kang-Nong dan Saija-Adinda ini seperti hanya Mojang-Jajaka Bandung.

Ramai sekali rombongan ini ada sekitar 60-an orang. Aku dengan beberapa teman dari Sobat Budaya, Priska dan Chartika, membawa rombongan melesat menuju Bandung.

Dua jam perjalanan kita tempuh dan akhirnya sampai di Kota Kembang, Bandung!
Dan Sampailah kita di Saung Angklung Udjo yang beralamat di Jalan Padasuka 118, Bandung Timur, Jawa Barat.

Saung Angklung Udjo

Saung Angklung Udjo (SAU) ini didirikan pada tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena bersama sang istri Uum Sumiati. Saung ini didirikan dengan maksud untuk melestarikan dan memelihara seni budaya tradisional Sunda, khususnya angklung.

Ketika aku menyambangi Saung ini terlihat ruangan terbuka besar yang merupakan tempat pertunjukan, ada toko yang menjual berbagai kerajinan dari bambu, serta ada juga workshop instrumen musik dari bambu, seperti arumba dan calung. Di bagian belakang, juga ada taman yang luas yang bisa kita gunakan untuk berkegiatan. Ada mushola yang menyediakan pancuran untuk berwudhu, kental sekali dengan suasana desa. Ada juga saung-saung yang bisa digunakan untuk istirahat atau makan.


Tempat Pertunjukan

Berbagai Instrumen Musik Bambu


Toko Souvenir dan Workshop Musik

Saung di Halaman Belakang
Sekarang ini SAU juga menjadi tempat belajar bermain angklung dan instrumen musik dari bambu lainnya. Tidak hanya muda-mudi Bandung yang belajar di sini, para bule juga ada yang belajar di sini. Kebetulan sekali ketika aku main ke SAU dalam rangka Launching Gerakan Sejuta Data Budaya, para bule yang telah belajar di SAU menyumbangkan performances-nya dan menghibur kami.



Launching Gerakan Sejuta Data Budaya

Gerakan Sejuta Data Budaya (GSDB) ini adalah upaya yang dilakukan untuk melestarikan budaya tradisi Indonesia melalui pendataan budaya. GSDB yang didukung oleh para volunteer yang tergabung dalam Komunitas Sobat Budaya berupaya membangun Perpustakaan Digital Budaya Indonesia (DPBI) secara gotong-royong. Ya! Gotong-royong karena kami, turut melibatkan seluruh masyarakat Indonesia ikut serta dalam pendataan budaya tradisi Indonesia. Kami loh ya, karena kebetulan aku juga volunteer di Sobat Budaya hehee :D.

Acara ini dimaksudkan untuk mengenalkan GSDB kepada khalayak ramai, sehingga akan lebih banyak orang yang turut mendata budayanya. GSDB sendiri sudah mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Saat acara ini berlangsung, hadir Wagub Jawa Barat, Bapak Deddy Mizwar dan para Duta Budaya dari kalangan publik figur, seperti Melanie Subono, Ramon Y. Tungka, Ayushita dan Leonita.


Para Duta Budaya

Dalam rangkaian acara launching ini, sekaligus juga acara pelepasan para ekspeditor yang akan melakukan ekspedisi budaya di 11 daerah di Indonesia, seperti Tegal, Sukabumi, Ponorogo, Banten, Bali, Sumbar, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya.


Pelepasan Ekspeditor


Aku Bersama Teman-Teman Sobat Budaya






OH, INDAHNYA NUSANTARA!

Pernah berjalan-jalan berkeliling ke beberapa daerah di pelosok Nusantara? Atau sekedar berselancar di dunia maya untuk melihat-lihat keindahan yang ditawarkan oleh bumi Nusantara?

Jika ya, pasti kita merasa takjub dan membelalakkan mata untuk mengagumi keindahan alam dan pemandangannya.

Jika kita menjelajah ke salah satu sudut wilayah Indonesia yang menawarkan keagungan dan keindahan alamnya pasti tak terpisahkan dengan KEBIASAAN, ADAT, BUDAYA DAN TRADISI masyarakatnya. Ya, budaya tradisi yang pastinya melekat di masing-masing wilayah di seluruh Nusantara.

Sepenggal pengalaman yang berharga bagiku, tepat setahun yang lau, Juni di tahun 2013. Senang rasanya, dan ada rasa bangga mewakili almamater (Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)) dalam rangkaian kegiatan Safari Bhakti Kesetiakawanan Sosial (SBKS). Kegiatan SBKS ini diselenggarakan oleh Kementrian Sosial Republik Indonesia, sebagai salah satu upaya merangkul saudara-saudara di Timur Indonesia, dan sebagai Jembatan Kedaulatan NKRI. Tak heran jika kegiatan SBKS ini ingin menjadi kedaulatan NKRI.


"SBKS - JEMBATAN KEDAULATAN NKRI"

Kemensos RI melalui kegiatan SBKS mencoba merangkul dan menyapa saudara-saudara setanah air yang tak terjamah, tak terperhatikan sekian lama oleh Pemerintah, karena akses yang begitu sulit. Dan mungkin, saudara-saudara kita di Timur Indonesia sana merasa di anak-tirikan oleh Pemerintah RI. Kegiatan SBKS, diisi dengan rangkaian kegiatan bakti sosial, pengobatan gratis, edutainment, dan ramah tamah dengan penduduk sekitar. Kegiatan SBKS ini diselenggarakan sejak tanggal 4 Juni hingga 28 Juni 2013, ke tujuh titik tujuan bakti sosial.

Waingapu, Pulau Solor, Pulau Wetar, Ambon, Pulau Haruku, Fakfak, Sorong, Makassar/Pangkep akan menjadi memori yang indah.

Menyambangi titik-titik terluar di Timur Indonesia yang begitu sulit dijangkau, namun menawarkan keindahan alam dan kekayaan BUDAYA TRADISI yang tiada duanya!

Perjalanan ke Timur Indonesia selama 24 hari itu tidak mungkin terlupakan!

Keindahan alam dan pemandangan yang memanjakkan mata sudah pasti, dan yang pasti KEBIASAAN, ADAT, BUDAYA DAN TRADISI yang melekat tak terpisahkan di masyarakatnya.

4 Juni 2013, sekitar pukul 04.00 WIB dini hari berangkat dari kampus bersama Afriza menuju Tanjung Priuk untuk menaiki KRI Banjarmasin 592. Dan dimulailah perjalanan ke Timur Indonesia. …


"BERSAMA AFRIZA DI ATAS KRI BANJARMASIN 592"


"KRI BANJARMASIN 592 MENGANTARKAN KAMI, TIM SBKS MENUJU TIMUR INDONESIA"

Mengenal Indonesia Lebih Jauh

Akhir-akhir ini gue lagi suka banget traveling. Sekali ikutan dan malah jadi ketagihan. Sejauh ini gue mantai (ke pantai) mulu nih, belum pernah naik gunung tapi, hehehe :D

Tujuannya traveling mau ngapain sih?
Awalnya gue mau kabur dari masalah yang menumpuk, mengistirahatkan hati yang lagi super duper galau dan carut marut, saeeelllaahh...

But along the traveling, in the journey it self, we can find something else, something worth it to do. Kita bisa kenalan lebih dekat sama bumi pertiwi, Indonesia. Ga cuma kenalan dan bercumbu sama alam dan poramanaya aja, jauh lebih intim dari pada itu, kita bisa merasakan nafas bumi pertiwi dalam setiap adat dan tradisi yang dijunjung di masing-masing tanah yang kita pijak.

Akhirnya, gue sama temen-temen gue sepakat buat rutin nge-trip, nge-trip yang anti mainstream bareng culturetripID.



Moto culturetripID

Ceritaku di Desa Adat Baduy

Pagi itu aku dan beberapa teman dari Jakarta dan Bandung bersiap melakukan perjalanan menuju Desa Adat Baduy. Desa Adat? Ya, desa Baduy memang dinobatkan sebagai desa adat karena masyarakat desa Baduy, terutama desa Baduy Dalam masih menjungjung tinggi dan menjaga adat tradisi para leluhur. Masyarakat Baduy masih tinggal di dalam rumah tradisional yang terbuat dari bilik bambu, dan berbentuk panggung. Baju yang dikenakan juga baju khas baduy yakni kain samping ares dan baju putih atau hitam, serta ikat kepala.

Sore hari mobil kami sampai di Pintu Gerbang Ciboleger. Tembok pembatas antara desa Baduy dan peradaban dari dunia luar. Ya, karena di sini lah titik terakhir kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, mendapatkan sinyal telfon dan jaringan internet yang masih bagus, akses pasar, mini market, kamar mandi dan listrik. Ketika kita sudah melewati gerbang dan memasuki desa Baduy? Oh tidak lagi! Tidak ada lagi pasar, toko, sinyal telfon dan internet (susah sekali mendapatkannya), dan kamar mandi pun amat sangat terbatas hanya beberapa rumah yang memiliki kamar mandi. Beberapa orang-orang di Baduy Luar menggunakan lampu solar untuk penerangan di malam hari, dan masih ada beberapa yang menggunakan ceplik (lampu minyak), sedangkan di Baduy Dalam semuanya menggunakan ceplik/lampu minyak.


Patung Selamat Datang di Ciboleger
Foto oleh Wulan

Dari Pintu Gerbang Ciboleger menuju Desa Balimbing di Baduy Luar kita tempuh dengan berjalan kaki. Jalanannya masih tanah, licin, dan turun hujan saat itu. Aku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, terutama di dataran tinggi begini merasa sangat kewalahan, apalagi dengan beban carrier 50L dan turun hujan! Aku sempat terhenti di tengah perjalanan untuk menghela nafas dan menjatuhkan ke carrier ke tanah! Ahh, aku sudah sangat lelah. Tapi teman-teman yang lain membantuku dan kita melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju Desa Adat Baduy itu sungguh penuh perjuangan!

Akhirnya, petang hari kami sampai di rumah Kang Sarpin, ayah Mul di Desa Balimbing, kita singgah dan tinggal di sini selama di Baduy. Kang Sarpin, bisa dibilang adalah salah satu tokoh pemuda dari Baduy Luar. Kang Sarpin sudah sering menerima tamu dari kota.


Kami, berada di jembatan yang memisahkan desa balimbing dengan desa gazebo
Foto oleh Agung

Desa-desa di Baduy baik di Baduy Luar maupun di Baduy Dalam dipisahkan oleh sungai dan disatukan oleh jembatan yang dibuat dari kayu bambu.


Bersama dengan Ayah Mursyid, Jaro Parowari/Humas dari Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berwarna putih), Kang Nalim, salah satu warga Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berbaju hitam), dan Mul, salah satu pemudah di Desa Balimbing, Baduy Luar (mengenakan iket kepala khas baduy)
Foto oleh Agung


Mul meneteskan getah batang kisereh di mata Aldi. Batang kisereh merupakan salah satu tanaman mengobati sakit mata dan menjernihkan mata
Foto oleh Agung

Masyarakat baduy tidak melakukan pengobatan dan pemeriksaan ke dokter atau bidan, mereka (terutama masyarakat Baduy Dalam) dilarang mengikuti modernitas, mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia dan menggunakan sabun. Masyarakat baduy menggunakan tanaman-tanaman untuk pengobatan tradisional dan menggunakan batu untuk menyikat gigi mereka dan tak menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci.


Ladang Huma di Baduy Luar
Foto oleh Agung

Pekerjaan utama masyarakat baduy adalah bertani. Mereka menanam padi setahun sekali di ladang huma. Selain padi mereka juga menanam sayuran, cabai, jagung dan umbi-umbian.


Perjalanan dari Desa Balimbing (Baduy Luar) menuju Desa Cibeo (Baduy Dalam)
Foto oleh Agung


Kegiatan Menenun oleh Wanita Baduy
Foto oleh Fikri

Wanita Baduy, (terutama di baduy luar) setiap sore menenun di teras rumahnya. Setiap wanita di baduy seyogyanya bisa menenun, dan kegiatan menenun ini hanya dilakukan oleh para wanita.


Jembatan yang memisahkan desa-desa di Baduy Luar
Foto oleh Fikri


Kegiatan memasak bersama dengan warga baduy luar (Kang Sarpin beserta istri)
Foto oleh Oase


Rumah tradisional masyarakat Baduy Luar
Foto oleh Agung


Leuit, tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy
Foto oleh Agung

Leuit merupan tempat penyimpanan padi atau lumbung padi bagi masyarakat baduy. Leuit ini bisa menyimpan padi hingga berumur 100 tahun. Masing-masing kepala keluarga memiliki 1-2 buah leuit. Leuit (padi) ini merupakan salah satu bentuk simpanan kekayaan mereka. Leuit ditempatkan secara berkelompok, terpisah dengan desa/rumah asal pemilik untuk menghindari bencana/kebakaran.


24 Hari Menjelajah Indonesia Timur

Part 1: Kisahku di Aboru, Indonesia yang Ter-anak-tiri-kan
Gedung Gereja Bethel, Aboru


Gereja Bethel, Rumah Ibadah di Aboru

Malam ini aku menonton bisoksop misbar “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku” dalam rangkaian acara FILARTC.
Film ini mengingatkanku akan perjalanan 2 tahun silam ke pelosok-pelosok Indoensia Timur.
Tanah merah di Ambon dan Aboru di Pulau Haruku, Maluku Tengah, salah dua dari beberapa tempat indah namun tersembunyi di Indonesia Timur.

4 - 28 Juni 2013 aku ikut rombongan untuk menyapa Saudara-saudara di Timur Indonesia.
Mengarungi laut dengan menggunakan KRI Banjarmasin 592, bersama dengan para TNI AL RI, adalah pengalaman yang sungguh baru bagiku.

Aku berlabuh diberbagai tempat untuk mengenal dan menyapa saudara-saudara di Indonesia Timur. Hari kesekian selama perjalanan mengarungi lautan, Aku Sampai di salah satu pelabuhan besar di Ambon.

Perjalanan masih panjang. Tujuan rombongan kami adalah ke Abouru. Kami harus menuju Pelabuhan Tulehu, pelabuhannya kecil. Dan aku melihat kembali pelabuhan ini setelah sekian lama, dalam film “Cahaya Dari Timur: Beta Maluku”.

Pelabuhan Tulehu


Sampai di Pelabuhan Tulehu

Pelabuhan Tulehu


Perjalanan menuju Aboru itu sungguh sulit. Dari pelabuhan Tulehu masih harus melanjutkan perjalanan darat dengan menggunakan truk atau pick up.

Perjalanan darat menggunakan pick up


Perjalanan Menuju Aboru

Menuju Aboru memang sulit dan payah. Tanahnya merah dan basah, dan juga licin pastinya. Ada rasa dan waswas selama dalam perjalanan. Tapi pemandangan alam yang menakjubkan bagai penawar yang tiada kira.

Di Aboru, rombongan kami melakukan bakti sosial. Aku sendiri adalah tim pengajar untuk adik-adik di Aboru. Kami membuat games untuk adik-adik, dan sedikit mengenalkan tentang Negara Indonesia pada mereka.

bermain dengan anak-anak dan warga Aboru


Bermain Games dengan Adik-Adik di Aboru

Seusai kegiatan pengajaran semua adik-adik digiring ke bale adat untuk mendengarkan cerita dari pimpinan rombongan. Beliau dari Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Rombongan Safari Bhakti Kesetiakawanan Sosial Bersama Masyarakat Aboru di Bale Adat

Rombongan kami bermalam di Aboru. Aku dan beberapa teman menginap di rumah penduduk setempat. Dari obrolan-obrolan kami, barulah aku tahu, bahwa Aboru dulu dikenal sebagai sarang pemberontak yang ingin mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan). Mereka merasa di-anak-tiri-kan oleh Indonesia. Merasa kekurangan, miskin, tidak memiliki akses pendididikan, transportasi, atau bahkan listrik. Bantuan silih berganti tapi bukan dari Indonesia. Tetapi dari Belanda. Banyak orang-orang Aboru yang pindah ke Belanda katanya.

Tapi, mamak di sini bilang, banyak warga Aboru yang tetap cinta Indonesia, mereka tetap ingin menjadi bagian Indonesia. Tidak ingin memisahkan diri. Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, hanyalah ungkapan protes, bahwa Aboru ada, Aboru adalah bagian dari Indonesia, yang ingin turut juga diperhatikan.

Pada saat perjalanan ke pelabuhan di sisi wilayah yang lain untuk kembali ke Ambon, perjalananku disuguhkan dengan pemandangan baru yang sama sekali berbeda dengan perjalanan ketika berangkat.
Jika di Aboru, kita tinggal dan menetap di pemukiman umat kristiani. Perjalanan kali ini kita melewati pemukiman umat muslim. Dan sungguh, pemukiman antar umat memang dipisahkan secara geografis.
Masih tersisa benih-benih perselisihan antar agama, ketika ada seorang muslim yang menanyai kami, kenapa kami singgah di pemukiman umat kristiani? Tidak di sini (di pemukiman umat muslim) saja?