Showing posts with label Resensi Buku. Show all posts

Antara Gunung Parang dan Parang Jati



Aku masih belum menyelesaikan bacaanku, sebuah novel karya Ayu Utami, Bilangan Fu. Namun, aku sudah terlalu jatuh hati pada Parang Jati dan juga Yuda. Aku bagaikan Marja yang berada di antara mereka.

Novel ini sungguh sangat berbeda dengan deretan novel yang sudah pernah ku baca. Novel ini begitu dalam, penuh makna, penuh emosi, dan aku terhanyut ke dalamnya.
Kisah Yuda dan kawanannya, para pemanjat tebing. Kisah Yuda dan pertemuannya dengan seseorang yang kelak akan menjadi sahabatnya, Parang Jati. Kisah Yuda dan Parang Jati, dengan Marja, yang terbelit kisah kasih cinta segitiga.

Tapi, bukan kisah-kisah kulit itu yang menarikku begitu dalam. Novel ini menceritakan lebih dari sekedar romantisme cinta segitiga, lebih dari pengalaman petualangan seorang pemanjat tebing gunung.

Rangkaian kisah dalam novel ini, seakan membukakan mata dan menyibakan steorotip budaya tradisional yang kuno. Cerita tentang sejarah Jawa dan Sunda yang berasal dari Babad Tanah Jawi, dituliskan secara ringan tanpa menggurui. Mitos Ratu Pantai Selatan yang menjadi Ratu dari semua Raja Jawa. Legenda-legenda atau cerita rakyat yang dituturkan oleh pendahulu, yang kita anggap musykil dan tidak masuk nalar. Namun, di balik itu semua ada tujuan arif yang sungguh bijaksana untuk menjaga alam semesta.

Pernah berpikirkah kita, tentang pantangan-pantangan masyarakat Jawa? Jangan sembarangan masuk ke hutan, karena ada penunggunya? Untuk apa? Supaya tidak ada pembalakan hutan secara liar, hutan adalah paru-paru udara untuk semua orang, hutan adalah daerah resapan air bagi seluruh umat manusia dengan segala ekosistem yang ada.

Pernahkan kita berpikir, mengapa masyarakat Jawa memberikan sesajen di gunung-gunung? Untuk mencari keselamatan sang penunggu kah? Yang, jika kita telaah lebih jauh, dengan sudut pandang yang berbeda, kegiatan tersebut bermaksud untuk membatasi aktivitas penambangan dan penggalian batu, yang menjadi resapan air dan sumber mata air bersih.

Ahhh, dan masih banyak lagi, kontemplasi-kontemplasi tentang budaya, kepercayaan, agama dalam rangkaian kisah dalam novel ini.

Ada apa antara Parang Jati dan Gunung Parang?

Sudah kuceritakan bukan kalau Yuda adalah seorang pemanjat tebing? Parang Jati pun, kemudian memanjat bersama dengan Yuda, pemanjatan bersih atau sacred climbing. Yuda tidak lagi melakukan pemanjatan kotor dengan bor dan paku.

Jumat, 17 April, siang hari aku baru dikabari kalau malam nanti kita akan menuju ke Purwakarta, tepatnya ke Badega Gunung Parang. Aku dan dua orang temanku memang sudah merencanakan perjalanan ke Purwakarta dari minggu lalu, tetapi aku belum tahu kemana tepatnya perjalanan kami akan tertuju. Dan siang ini aku tahu, kami akan ke Badega Gunung Parang. Sekelibat, yang terlintas dalam pikiranku adalah Parang Jati! Musykil memang, ada pikiran yang entah mengapa, aku pun tak bisa menjelaskannya, aku ingin bertemu dengan Parang Jati di tebing Gunung Parang! Parang Jati dan Gunung Parang, sebuah kebetulankah?

Sabtu pagi, aku dan teman-teman sudah sampai di Badega Gunung Parang. Pemandangan Gunung Parang menjulang di depan kami. Dan, Gunung Parang ini memang gunung batu, aktivitas rock climbing sudah sering dilakukan di tebing gunung ini. Aku pun beberapakali melihat aktivitas pemanjatan ini. Orang-orang bergelantungan di sisi tebing itu. Menjadi seonggok makhluk kecil di atas permukaan bumi, menggantungkan nasib pada tambatan tali di Gunung Parang. Menggantungkan nasib pada alam.


Gunung Parang dilihat dari Saung Badega Gunung Parang

Gunung Parang dalah gunung batu, dan menjadi salah satu objek gunung untuk pemanjatan. Suatu kebetulan, yang... menyenangkan?

Dan seperti itulah pasti Yuda dan Parang Jati memanjat watugunung.

Aku belum bisa menemukan sosok Parang Jati di sini, kali ini. Tapi, aku akan kembali lagi ke sini.





Babu Backpacker: Kisah TKI yang Menjelajah 3 Negara!

Saat pertama kali aku ditawari untuk membaca buku ini aku bingung, dan mungkin sedikit merutuk.
Kenapa judulnya babu backpacker? Aku suka jalan-jalan, traveling, backpackeran.
Ditawari untuk membaca buku tentang kisah perjalanan seseorang menjelajah planet bumi tentu aku menyambutnya dengan antusias! Tapi babu? Apa arti babu di sini? Apa seseorang yang menjadi budak traveling? Atau seseorang yang sudah terlalu menghamba dengan dunia traveling?

Akhirnya, malam ini aku menerima paket buku “babu backpacker” karya Aisy Laztatie, dkk disunting oleh Pipiet Senja dan mulai membacanya lembar demi lembar.

Ketika membaca prolog buku ini, barulah aku tahu bahwa babu di sini adalah para TKI di Malaysia yang melakukan perjalanan selama 8 hari ke 3 negara sekaligus!

Tak ku sangka sungguh! Jikalau buku ini akan menceritakan kisah para TKI Malaysia yang melakukan perjalanan wisata ke berbagai negara! Jujur aku salut dan kagum dengan keteguhan hati mereka yang berusaha sekuat mungkin untuk melakukan perjalanan ke berbagai negara. Sedangkan aku sendiri saja yang mengenyam pendidikan hingga kuliah dan sudah bekerja menjadi karyawan swasta belum pernah melangkahkan kaki ke negara mana pun selain menjelajah beberapa tempat di tanah air Indonesia.

Barulah beberapa tahun belakangan ini aku gandrung dengan dunia traveling. Dunia yang memberikan pengalaman baru, pengetahuan baru, kebahagiaan baru. Dunia yang bisa menjadi obat, atas semua rasa sakit dan sedih yang lekat dalam hati.


Babu backpacker!

Desi Lastati seorang Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di Negeri Jiran. Ia menguatkan tekat dan niat untuk menjelajah 3 negara Asia Tenggara di masa liburannya.
Desi bersama temannya Febri menjelajah Vietnam, Kamboja dan Thailand dalam waktu 8 hari! Waktu yang amat sempit tentunya. Dan lagi, Desi menyempatkan diri mampir ke Jakarta sebelum akhirnya kembali lagi ke Negeri Jiran.

Banyak kisah dan tempat-tempat wisata yang mereka kunjungi selama traveling perdana mereka. Bertemu dengan banyak orang, dengan masyarakat lokal yang unik dan memiliki adat istiadat tersendiri. Dan tentu juga bertemu dengan sesama backpacker dari berbagai negara selama perjalanan.
Selama 8 hari, Desi dan Febri mengunjungi Hanoi, Halong Bay, Ho Chi Minh City, Phnom Penh, Siem Reap, dan Bangkok.

Dari Bangkok Desi terbang ke Jakarta sendiri untuk menghadiri undangan seminar ketenagakerjaan dan kemudian kembali lagi ke Negeri Jiran untuk berjibaku dengan tugas dan kewajibannya sebagai TKI.
Selain kisah Desi dan Febri, dalam buku ini juga menceritakan kisah dan pengalaman lain yang tak kalah menarik dari para TKI yang bekerja di Malaysia. Kebanyakan dari mereka menceritakan kisah mereka ketika mengeksplor Negeri Jiran, tetapi ada juga yang menceritakan kisah travelingnya di Singapura dan di bumi Nusantara, Indonesia.

Ada yang bercerita tentang Kampung Soeharto di Felda Sungai Dusun yang kemudian berubah menjadi Felda Soeharto. Kunjungan ke Masjid Nasional Malaysia, Highland Cameron, Putrajaya, Genting Highland, Ipoh Perak, Kuala Lumpur Convention Center, Pulau Langkawi, I City Shekh Alama, Pantai Teluk Batik. Yang semuanya merupakan tempat-tempat di Malaysia.
Ada juga seorang TKI yang menceritakan kisahnya bertualan seharian di Singapura, berwisata ke Karimun Jawa dengan para sahabat ketika kembali ke tanah air dan yang berwisata Air di Klaten.

Banyak tempat-tempat menarik yang diceritakan dalam buku ini. Sehingga, bisa menjadi referensi ketika ingin berkelana ke beberapa negara di Asia Tenggara yang disebutkan di dalam buku ini.
Dalam setiap perjalanan yang diceritakan, ada satu kesamaan! Perencanaan Perjalanan! Ini penting sekali. Bagaimana kita akan mengatur perjalanan, memilih destinasi yang menarik dan mengatur pengeluaran sehemat mungkin.

Hanya saja, novel ini masih ada yang perlu diperbaiki. Mulai dari kesalahan pengetikan, atau penggunaan bahasa Indonesia yang tercampur dengan bahasa melayu tapi tidak disertai dengan pemaknaan dari kalimat tersebut.

But, I really enjoy to read this book! Seperti menjelajah negara-negara dan tempat-tempat indah yang mereka kunjungi.