Showing posts with label Pendakian Gunung. Show all posts

Mencapai Puncak Gunung Ijen!

Dini hari ini, 10 Mei 2016, aku bersama rombongan dari Kementrian Pariwisata bersiap menuju Gunung Ijen untuk melihat pesona Blue Fire dan Kawah Ijen, yang menjadi salah satu icon destinasi wisata Kota Banyuwangi.

Jujur saja, aku bukanlah seorang pendaki gunung. Pernah sekali aku mendaki Gunung Parang, dan tak sukses mencapai puncak. Awalnya, sempat terpikir keraguan untuk menjajal menaiki Gunung Ijen.

Namun, aku berniat mencoba dan melangkahkan kaki pertamaku di Paltuding menuju Puncak Gunung Ijen.

Paltuding, Kawasan Rest Area Kawah Ijen, sekaligus Pos 1 Pendakian Gunung Ijen

Perjalanan dari Pos 1 menuju Pos 2, bagiku sudah sangat melelahkan dan sempat mengalami kram di paha dan sedikit sesak nafas. Aku berhenti untuk beristirahat dan mengambil nafas panjang, beruntung sekali aku berjalan bersama Mas Ain, Ketua Rombongan kami, yang dengan sabar membantu dan menemaniku selama perjalanan naik ke atas puncak Gunung Ijen.

Perlahan tapi pasti aku dan Mas Ain menapaki jalanan, tentu di tengah perjalanan pun, sempat terpikir untuk berhenti dan kembali lagi ke Paltuding. Ah tapi, sayang sekali sudah menyusuri setengah perjalanan dan harus kembali lagi.

Jika, kamu adalah seorang pendaki gunung dan sudah terbiasa meng-explore gunung, estimasi waktu yang dibutuhkan hingga sampai ke puncak sekitar 1,5-2 jam. Karena aku seorang amatir aku mencapai puncak Gunung Ijen dalam waktu 3 jam. Sungguh, diperlukan sekali seorang partner dan teman perjalanan yang loyal dan siap men-support kita hingga Puncak dan turun kembali dengan selamat.

Hari mulai menampakkan sinar mentari, dan kami telah sampai di balik puncak Gunung Ijen

Sampai di Pos 4 Gunung Ijen!!!

Dan akhirnya sampai jumpa di Puncak Gunung Ijen! Yeaayyyyyyy!!!

Pemandangan Kawah Ijen

Finally I made it :D, How happy I am!

Kawah Ijen berwarna hijau dan mengepulkan asap belerang. Kabut putih yang terbidik dalam gambar merupakan asap belerang. Kawah ini pun lah yang mengeluarkan blue fire, sayangnya karena kabut dan cuaca, dini hari ini para pendaki tak bisa menangkap view blue fire.

Thanks to Mas Ain who support and help me along climb the Ijen Mountain :))

Bersama Rombongan Blogger dan Kemenparekraf

Bersama Pendaki Mancanegara

Secuil Pemandangan Tanah, Bebatuan dan Kayu-kayu yang berada di Kawasan Gunung Ijen

Dalam perjalanan pendakian kita akan kerap kali bertemu penambang belerang.

Penambang Belerang

Bentuk Belerang Asli

Souvenir Belerang

Belerang ini bisa digunakan untuk menggosok badan ketika mandi. Khasiatnya, dipercaya untuk mengobati penyakit kulit seperti gatal-gatal dan panu. Sebuah souvenir dihargai sekitar Rp. 10.000,00. Kalau kamu ingin membuktikannya, silakan mencoba :D

Sudah puas memandang keelokan Puncak Gunung Ijen! Mari menuruni bukit. Dalam perjalanan pulang pun kita akan menemukan pemandangan-pemandang yang belum sempat kita lihat saat mendaki karena gelapnya malam.

Ketika berjalan pulang, kita akan disajikan dengan pemandangan Gunung Meranti :)

Jalan setapak jalur pendakian Gunung Ijen didereti berbagai macam pohon.

Ketika mendaki kamu akan kerap kali menemui penjual jasa trolley yang akan membantumu untuk naik atau menuruni Gunung Ijen

Nah buat kamu yang ingin mendaki Gunung Ijen, di Paltuding juga tersedia guest house bisa menampung para pendaki. Karena jumlahnya terbatas sedangkan peminatnya banyak, seringkali guest house ini penuh. Jadi siap-siap untuk memesannya jauh-jauh hari ya sebelum mau ke Ijen :)

Dan bersyukur sekali aku telah sampai di Paltuding!






Antara Gunung Parang dan Parang Jati



Aku masih belum menyelesaikan bacaanku, sebuah novel karya Ayu Utami, Bilangan Fu. Namun, aku sudah terlalu jatuh hati pada Parang Jati dan juga Yuda. Aku bagaikan Marja yang berada di antara mereka.

Novel ini sungguh sangat berbeda dengan deretan novel yang sudah pernah ku baca. Novel ini begitu dalam, penuh makna, penuh emosi, dan aku terhanyut ke dalamnya.
Kisah Yuda dan kawanannya, para pemanjat tebing. Kisah Yuda dan pertemuannya dengan seseorang yang kelak akan menjadi sahabatnya, Parang Jati. Kisah Yuda dan Parang Jati, dengan Marja, yang terbelit kisah kasih cinta segitiga.

Tapi, bukan kisah-kisah kulit itu yang menarikku begitu dalam. Novel ini menceritakan lebih dari sekedar romantisme cinta segitiga, lebih dari pengalaman petualangan seorang pemanjat tebing gunung.

Rangkaian kisah dalam novel ini, seakan membukakan mata dan menyibakan steorotip budaya tradisional yang kuno. Cerita tentang sejarah Jawa dan Sunda yang berasal dari Babad Tanah Jawi, dituliskan secara ringan tanpa menggurui. Mitos Ratu Pantai Selatan yang menjadi Ratu dari semua Raja Jawa. Legenda-legenda atau cerita rakyat yang dituturkan oleh pendahulu, yang kita anggap musykil dan tidak masuk nalar. Namun, di balik itu semua ada tujuan arif yang sungguh bijaksana untuk menjaga alam semesta.

Pernah berpikirkah kita, tentang pantangan-pantangan masyarakat Jawa? Jangan sembarangan masuk ke hutan, karena ada penunggunya? Untuk apa? Supaya tidak ada pembalakan hutan secara liar, hutan adalah paru-paru udara untuk semua orang, hutan adalah daerah resapan air bagi seluruh umat manusia dengan segala ekosistem yang ada.

Pernahkan kita berpikir, mengapa masyarakat Jawa memberikan sesajen di gunung-gunung? Untuk mencari keselamatan sang penunggu kah? Yang, jika kita telaah lebih jauh, dengan sudut pandang yang berbeda, kegiatan tersebut bermaksud untuk membatasi aktivitas penambangan dan penggalian batu, yang menjadi resapan air dan sumber mata air bersih.

Ahhh, dan masih banyak lagi, kontemplasi-kontemplasi tentang budaya, kepercayaan, agama dalam rangkaian kisah dalam novel ini.

Ada apa antara Parang Jati dan Gunung Parang?

Sudah kuceritakan bukan kalau Yuda adalah seorang pemanjat tebing? Parang Jati pun, kemudian memanjat bersama dengan Yuda, pemanjatan bersih atau sacred climbing. Yuda tidak lagi melakukan pemanjatan kotor dengan bor dan paku.

Jumat, 17 April, siang hari aku baru dikabari kalau malam nanti kita akan menuju ke Purwakarta, tepatnya ke Badega Gunung Parang. Aku dan dua orang temanku memang sudah merencanakan perjalanan ke Purwakarta dari minggu lalu, tetapi aku belum tahu kemana tepatnya perjalanan kami akan tertuju. Dan siang ini aku tahu, kami akan ke Badega Gunung Parang. Sekelibat, yang terlintas dalam pikiranku adalah Parang Jati! Musykil memang, ada pikiran yang entah mengapa, aku pun tak bisa menjelaskannya, aku ingin bertemu dengan Parang Jati di tebing Gunung Parang! Parang Jati dan Gunung Parang, sebuah kebetulankah?

Sabtu pagi, aku dan teman-teman sudah sampai di Badega Gunung Parang. Pemandangan Gunung Parang menjulang di depan kami. Dan, Gunung Parang ini memang gunung batu, aktivitas rock climbing sudah sering dilakukan di tebing gunung ini. Aku pun beberapakali melihat aktivitas pemanjatan ini. Orang-orang bergelantungan di sisi tebing itu. Menjadi seonggok makhluk kecil di atas permukaan bumi, menggantungkan nasib pada tambatan tali di Gunung Parang. Menggantungkan nasib pada alam.


Gunung Parang dilihat dari Saung Badega Gunung Parang

Gunung Parang dalah gunung batu, dan menjadi salah satu objek gunung untuk pemanjatan. Suatu kebetulan, yang... menyenangkan?

Dan seperti itulah pasti Yuda dan Parang Jati memanjat watugunung.

Aku belum bisa menemukan sosok Parang Jati di sini, kali ini. Tapi, aku akan kembali lagi ke sini.





Kisah Seorang Amatir Mendaki Gunung Parang


Badega Gunung Parang, Desa Cihenyi, Purwakarta

Sabtu pagi, aku bersama dua temanku, Inel dan Yudith, sampai di obyek wisata Badega Gunung Parang, Purwakarta. Selama dua hari ke depan kami akan tinggal di sini, hendak mengeksplor Purwakarta. Obyek wisata ini, dibangun layaknya kampung budaya, terdapat saung-saung yang terbuat dari bilik bambu menghadap gunung parang. Para wisatawan bisa menginap di sini, aku pun menginap di salah satu saung yang tepat menghadap gunung parang.

Sabtu-Minggu, 19-20 April, kami memang sudah menjadwalkan untuk ke Purwakarta, jalan-jalan sekaligus melepas penat setelah riuh dengan hiruk pikuk pekerjaan, komunitas, dan urusan bisnis di Jakarta. Ku pikir, kita hanya akan jelajah kota Purwakarta, tidak terlintas dalam pikiranku, kalau jalan-jalan kita kali ini ke Purwakarta, akan juga mendaki gunung, hi hi hi :D

Aku memang orang yang suka berkeliling, berjalan-jalan, kemana pun! Ke pantai, keliling kota, ke desa, ke kota, (atau mungkin ke gunung?!). Jujur, aku belum pernah mendaki gunung. Ya, walau pun aku sudah pernah berjalan kaki menjelajahi baduy luar dan baduy dalam, yang katanya, trek-nya lebih susah dibandingkan gunung papandayan. Atau ke gunung kapur?! Yang entah, itu bisa disebut gunung atau bukan, ketinggiannya hanya, mungkin dibawah 2.000 mdpl?

Berbeda dengan dua temanku, mereka sudah pernah beberapa kali mendaki gunung. Mereka amat antusias untuk mendaki gunung parang dan melihat sunset dari puncaknya.


Gunung Parang dilihat dari rumah wisata Badega Gunung Parang

Itulah secuil penampakan tentang Gunung Parang yang akan kami daki esok dini hari.

Foto diambil dari pelataran saung Badega Gunung Parang berikut:



Jadilah, Minggu dini hari, sekitar pukul 03.00, diantar seorang guide lokal kami mendaki gunung parang. Gunung Parang ini adalah gunung batu. Selain menjadi objek aktivitas pendakian, gunung parang juga merupakan objek climbing. Banyak para pemanjat yang melakukan climbing di gunung parang. Dari saung Badega Gunung Parang pun kita sering kali bisa melihat para pemanjat yang bergelantungan di sisi Gunung Parang.

Sebagai seorang amatir, yang belum pernah naik gunung sungguhan, dan tidak tahu sama sekali kalau jalan-jalan kali ini akan naik gunung, aku sedikit kaget! Ha ha ha :D, lihat saja, aku hanya memakai flatshoes dan tidak membawa sepatu/sendal untuk trekking :P. Trek pendakian ini sungguh sulit, banyak bebatuan, dan hampir semua jalur trek didominasi oleh bebatuan. Hari masih amat gelap, batu yang tajam dan tanah yang basah serta licin, mempersulitku dalam melangkahkan kaki mengikuti teman-temanku.

Di tengah perjalanan, sempat juga terpeleset (atau terpelosok?) dan hampir jatuh ke bawah, dengan kanan-kiri jurang! karena salah menumpu pada tanah basah yang licin. Yudith membantu ku untuk menggeser badan ke tanah yang lebih kering, dan mencoba berdiri lagi.

Selama hampir tiga jam perjalanan menuju summit pertama Gunung Parang, aku berhenti beberapakali (mungkin teramat sering?) karena nafas yang tersengal-sengal. Dan seringkali kaki mengantuk batu, sehingga terasa nyeri. Hampir tiga jam perjaanan, dan matahari sudah mulai nampak bersemu merah.

Kita tidak bisa mencapai puncak Gunung Parang, batas terjauh pendakian kita adalah summit pertama Gunung Parang. Jarak ke puncak masih amat jauh, dan kalau dilanjutkan pun, matahari sudah tinggi di atas kepala. Kata Inel, muka ku sudah pucak, mungkin karena kelelahan dan kehabisan nafas hahaha :D

Menurut mereka, Inel dan Yudith, yang sudah pernah mendaki gunung sebelumnya, trekking Gunung Parang ini memang sangat susah. Trekking ini cocok bagi para pendaki yang ingin merasakan rute baru, adrenalin baru, dan tingkat kesulitan yang baru. So, if you are a mountaineer, are you dare to hike this mountain?!

Ya ini secuil pemandangan yang bisa didokumentasikan oleh Inel di summit pertama Gunung Parang, ketika matahari memunculkan semburat warna merah:




Waduk Jatiluhur dan Gunung Lembu terlihat dari summit Gunung Parang




Perbukitan dan Kawasan Gunung Lembu yang Terlihat dari Summit Gunung Parang

Begitulah kisahku, seorang amatir yang mencoba mendaki Gunung Parang. Mungkin terbesit penyesalan dan kekecewaan di hati kedua temanku, karena gagal mencapai puncak dan tidak bisa melihat semburat cahaya matahari yang terbit, serta pemandangan Purwakarta dari puncak Gunung Parang.