Tomyam Kelapa, Kuliner Thailand Olahan Tangan Indonesia

Akhir pekan lalu aku merasa bosan sekali tidak pergi kemana-mana dan tidak ada kegiatan. Suntuk bin galau bin pengen jalan bin pengen ngablu!

Secara spontan, minggu sore (26/4), kaki ini melangkah menuju Stasiun Sudirman. Aku hendak berkunjung ke tempat makan Mas Baha. Salah satu kenalanku di Komunitas Warung Blogger. Aku belum pernah bertemu dengan Mas Baha, hanya aktif ber chit chat via whatsapp dan tegur sapa di linimasa twitter. Orangnya ramah, dan kita sesama dari Jawa! Yo wes, yo, podo wae wong jowo, kabeh wong jowo ning rantau sedulur :p. (Yaudah, sama-sama orang Jawa, semua orang Jawa di perantauan itu saudara).

Dari Stasiun Sudirman aku menuju Stasiun Sudimara (dari st. Tanah Abang, ambil yang arah Serpong). Lalu, melanjutkan perjalanan dengan angkot putih ke arah Ciledug. Aku turun di depan pintu gerbang Villa Bintaro Indah. Melangkahkan kaki beberapa meter, hingga akhirnya sampai di Saung Ibu. Tempat di mana Mas Baha membuka usahanya.


Saung Ibu Tampak Depan

Aku masuk ke dalam saung Ibu, dan aku bingung setengah mati! Hahaha, karena meja-meja hampir semuanya penuh! Dan, aku tadi sudah bilang kan, kalau aku belum pernah ketemu sama Mas Baha, jadi aku pun tidak tahu rupanya! Hihihi :D


Nah inilah tempat makan di Saung Ibu.

Sedikit canggung, karena duduk sendiri, dan tidak bisa menegur siapa-siapa. Ah, untung aku membawa Novel Larung, teman yang teramat baik untuk membunuh kecanggungan.

Rupanya Mas Baha sedang sangat sibuk memasak di dapur, tempat ini memang sedang ramai pengunjung. Ia sudah memasakan tomyam kelapa buatku. Semangkuk tomyam kelapa, ehmm bukan, sebongkah (?) tomyam kelapa sudah siap tersaji di depanku.


This is it! Tomyam Kelapa cooked by Mas Baha

Sebelumnya, aku sudah pernah mencicipi tomyam thailand, dan aku penasaran dengan rasa dari tomyam kelapa ini. Tomyam kelapa sudah ada di hadapan, langsung saja kucicipi makanan ini. Well, rasanya campuran asam-manis-asin-sedikit pedas. Rasanya memang sedikit berbeda denga tomyam yang sudah pernah ku makan. Tomyam ini tidak terlalu masam dan lebih manis dibanding tomyam thailang. Karena memang, tomyam ini sudah diracik dan disesuaikan dengan selera para pelanggannya. Fyi, yah kuah dari tomyam kelapa ini benar-benar menggunakan air kelapa mudanya loh, jadi memang rasanya manis kelapa.

Kalau aku sih, akan lebih pilih tomyam asam-asin-pedas, tanpa rasa manis, karena aku sudah cukup manis lah ya, hehehe :D. Masukan saja buat pengembangan ke depan, mungkin para pelanggan dibebaskan memilih pilihan rasa tomyamnya, takaran rasa asam-manis-asin-pedas sesuai selera mereka :)

Dan yang unik lagi dari tomyam kelapa ini, tidak hanya berbagai seafood yang menjadi isi tomyam kelapa, serutan kelapa mudanya pun tersedia dalam bongkahan tomyam kelapa ini. Sebagai penggemar kelapa muda, tentu aku senang sekali :)

Overall, tomyam kelapa ini enak! 8 dari 10 ya nilainya, akan jadi 9+ kalau rasanya super pedas dan super panas! Hahaha :D

Ya, begitulah citarasa tomyam kelapa, kuliner khas Thailand yang telah diracik dengan tangan Indonesia :)

Travel Blogger Indonesia




Pertama kali, blog ini dibuat (Maret 2015) memang akan khusus menuliskan kisah perjalananku di setiap jengkal bumi pertiwi dengan segala keindahan dan potensi kearifan budayanya.

Aku memang suka menulis sedari di bangku SMA dulu, tapi tidak pernah betul-betul belajar mengenai teknik penulisan. Selama ini aku hanya menuliskan apa pun yang terlintas dalam pikiranku, mengalir begitu saja, tanpa ada rumusan apa pun. Belakangan ini aku merasa perlu mempelajari teknik penulisan dan memperbanyak teman yang sama-sama suka menulis untuk saling berbagi informasi dan masukan. Bergabunglah aku dengan salah satu komunitas blogger. Di dalam komunitas itu, banyak sekali blogger senior dengan berbagai macam background dan berbagai macam kekhususan tema tulisannya.

Berangkat dari diskusi di komunitas ini lah aku membuat blog khusus untuk menceritakan perjalananku, terpisah dari blog lama ku yang isinya, wah campur aduk!

Tapi, aku belum menemukan teman blogger yang memiliki interest yang sama di dunia traveling. Jadilah aku mencari-cari komunitas traveling dan travel blogger di twitter. And finally I found @IDTravelBlogs. How happy I am in that moment!

Komunitas yang memenuhi kebutuhanku, satu paket komplit! Komunitas Travel Blogger Indonesia (TBI)!

Berhari-hari aku mengulik tentang TBI, mulai dari twitter, fan page dan web nya. Banyak travel blogger yang sudah bergabung dalam komunitas ini. Kisah-kisah perjalanan yang unik dan menarik, mengenalkan sisi-sisi indah Indonesia. Ya, aku memang lebih banyak mengulik tentang destinasi-destinasi wisata di Indonesia. Dan aku ingin mengunjunginya! Semuanya!

Menurutku, TBI ini bagus sekali, bisa menjadi wadah bagi para travel blogger Indonesia yang hendak mengenalkan keindahan alam dan potensi budaya Indonesia kepada mata dunia. Supaya banyak wisatawan asing yang ingin berkunjung ke Indonesia, tidak hanya ke Bali, tapi ke seluruh pelosok Indonesia. Dan tentu, aku dan masih banyak orang Indonesia lainnya belum tahu seluruh pelosok negeri ini, dengan berbagai tulisan dari travel blogger Indonesia pasti akan menambah pengetahuan kita tentang Indonesia.

Dan tentu, aku ingin sekali bergabung di komunitas ini. Sehingga bisa belajar dengan seluruh travel blogger yang tergabung dalam TBI. Dan akan semakin banyak orang yang bisa membaca tulisanku :)

Aku ingin mengenalkan Indonesia, dengan segala keindahan alam dan potensi budayanya :)

Wilujeng Sumping! Purwakarta Istimewa ...


Wilujeng Sumping! Purwakarta Istimewa ...

Ahh, minggu ini adalah minggu paling hectic sepertinya. Bolak-balik Jakarta-Bogor dan Jakarta-Bandung. Padahal, aku dan dua orang temanku sudah merencanakan akan bepergian ke Purwakarta di akhir pekan. Jadilah, Jumat pagi ke Bandung, dan Jumat malam aku menyusul teman-temanku di Kampung Rambutan menujut Purwakarta. Sayang sekali, aku datang amat sangat terlambat. Dan sudah tidak ada bus yang langsung ke Purwakarta.

Purwakarta, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta. Perjalanan ke Purwakarta dari Jakarta bisa ditempuh selama kurang lebih 3 jam dengan menggunakan bus Warga Baru dari Kampung Rambutan.

Purwakarta sendiri berasal dari kata "purwa" yang berarti permulaan atau awal, dan "karta" yang berarti ramai atau hidup. Motto dari Kabupaten Purwakarta adalah Wibawa Karta Rajarja. "Wibawa" berarti berwibawa atau penuh kehormatan, "karta" artinya ramai atau hidup, dan "Raharja" bermakna sejahtera atau makmur.


Peta Purwakarta

Karena berangkat dari Jakarta terlalu larut, sekitar pukul 11.00 malam sehingga kami menaiki Bus tujuan Bandung, dan turun di tol. Bus termalam dari Kampung Rambutan menuju Purwakarta itu pukul 20.00, dan harga normalnya adalah Rp. 25.000,00. Karena kami menaiki bus tujuan Bandung, kami dimintai biaya sebesar Rp. 40.000,00!

Sabtu dini hari, sekitar pukul 01.00 kami tiba di Maracang, Purwakarta. Dari sini kami akan menuju Badega Gunung Parang. Ohh ini dini hari! Di tengah desa antah berantah yang tidak kami tahu. Tidak ada kendaraan umum selarut ini di sini.

Dan inilah pengalaman yang benar-benar baru, aku bersama teman-teman berjalan kaki dari pinggir tol memasuki desa, yang kemudian kami tahu kalau itu adalah Desa Maracang. Ada tukang ojeg yang menawarkan diri mengantar kami ke gunung parang tapi dengan biaya Rp. 100.000,00! Ahhh, itu mahal sekali! Kami, yang hendak backpackeran ini sudah pasti menolak dan memilih berjalan kaki mencari jalan raya. Untuk sekedar memastikan adakah kendaraan umum? Atau kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih baik untuk melanjutkan perjalanan kali ini.

Kami berjalan beberapa ratus meter dan memang jalanan sangat sepi! Kau tahu? Para abang ojeg tadi membuntuti kami, dan seraya memaksa bahwa tidak ada kendaraan umum, ayo naik ojeg saja. Diperlakukan seperti itu tentu kami semakin malas. Kami mempercepat langkah kaki kami, dan bertemu dengan bapak-bapak yang sedang meronda. Bapak-bapak yang baik hati!

Kata mereka, kami harus menunggu paling tidak sekitar pukul 03.00 atau 04.00, sampai ada elf menuju Plered, dan kemudian naik mobil kijang ke Badega Gunung Parang. Jadilah kita harus menunggu 2-3 jam. Badan sudah letih, dan mengantuk tentunya. Akhirnya kami berjalan ke SPBU dan merebahkan badan di musholla. Pukul 03.00 dini hari, aku dibangunkan Inel. Aku kaget, ramai suara di luar, aku pikir ini sudah subuh dan ada orang-orang yang hendak sholat. Oh, ternyata tidak! Mereka pelancong seperti kita sepertinya. Kami pun beranjak dari musholla menuju jalan raya, menunggu elf. Kita harus membayar Rp. 10.000,00 untuk menuju Plered. Kami menaiki elf bersama ibu-ibu dan bapak-bapak yang hendak ke pasar.

Sampai di Plered, dan hari masih gelap. Mobil Kijang baru beroperasi setelah Shubuh, jadilah kita harus menunggu lagi. Kami rebahan di pelataran markas TNI di area Masjid Agung di Plered. Ouuhh, ini sudah Purwakarta, tapi perjalanan masih panjang loh! Dan ini pengalaman pertama ku, melakukan perjalanan bermodal nekat di malam hari begini!

Akhirnya mobil kijang via Gunung Parang muncul! Langsunglah kami mengejar dan menaikinya! Kami masih harus menempuh perjalanan selama satu jam menuju Badega Gunung Parang. Biaya naik kijang ini sebesar Rp. 15.000,00.

Voila! Sampailah kita di Badega Gunung Parang. Badega Gunung Parang ini semacam tempat wisata, tempat menginap yang langsung menghadap ke Gunung Parang. Serba hijau! Sejuk! Dan yang pasti bisa menyegarkan mata, setelah semalaman terlunta-lunta dan kelelahan dalam perjalanan.

Inilah Badega Gunung Parang dengan segala keindahan dan kesejukannya:


Bale Ngaso dan Kolam Ikan


Bale Semah





Yup! Karena kami kelelahan, setelah sarapan kami merebahkan diri sejenak, mandi dan akhirnya melangkahkan kaki untuk mengeksplor kampung Cihuni ini, dan menuju Waduk Jatiluhur.


Ayo jalan-jalan! Telusuri Kampung Cihuni!

Di sini kendaraan umum susah sekali, hanya ada mobil kijang ke Plered itu pun jarang-jarang. Jadilah kami berjalan kaki. Selama perjalanan kita bisa melihat-lihat aktivitas masyarakat, bertani, berternak, dan berdagang. Kita bisa melihat adik-adik kecil yang masih bermain-main dengan tanah, memanjat pohon, jauh dari gadget!

Ini beberapa pemandangan yang bisa kita lihat sepanjang perjalanan eksplor kampung menuju Waduk Jatiluhur:

Sapinya aki, guide lokal yang besok akan menemani kami mendaki Gunung Parang


Padinya sudah mulai menguning! Siap dipanen.


Yang dibelakang itu, Penampakan Gunung Lembu


Penampakan Waduk Jatiluhur sudah terlihat, tapi perjalanan masih jauh looohhh :p

Rasanya kami sudah berjalan jauuuhhhh sekali, beratus-ratus meter tapi belum menemukan dermaga yang menyediakan kendaraan bargas untuk kita naiki menuju waduk jati luhur nih, hahah. Kaki sudah gempor bok!
Beruntungnya kami, di tengah jalan bisa menumpang mobil pick up menuju kota/jalan raya untuk naik angkot ke waduk Jatiluhur.


Bahagia kami naik pick up!

Dan akhirnya dengan segala perjuangan yang kami lakukan, sampailah ke waduk Jatiluhur. Mencoba menaiki onthel gantung di atas waduk jati luhur, naik bargas ke tengah danau untuk makan siang di karamba, dan akhirnya naik bargas lagi menuju kampung Citerbang, dan kembali ke Badega Gunung Parang.


Karamba

Karamba itu tempat makan apung di tengah Waduk Jatiluhur, menyediakan segala jenis ikan pastinya :). Harganya cukup terjangkau loh, enak dan kenyang pastinya :)









Antara Gunung Parang dan Parang Jati



Aku masih belum menyelesaikan bacaanku, sebuah novel karya Ayu Utami, Bilangan Fu. Namun, aku sudah terlalu jatuh hati pada Parang Jati dan juga Yuda. Aku bagaikan Marja yang berada di antara mereka.

Novel ini sungguh sangat berbeda dengan deretan novel yang sudah pernah ku baca. Novel ini begitu dalam, penuh makna, penuh emosi, dan aku terhanyut ke dalamnya.
Kisah Yuda dan kawanannya, para pemanjat tebing. Kisah Yuda dan pertemuannya dengan seseorang yang kelak akan menjadi sahabatnya, Parang Jati. Kisah Yuda dan Parang Jati, dengan Marja, yang terbelit kisah kasih cinta segitiga.

Tapi, bukan kisah-kisah kulit itu yang menarikku begitu dalam. Novel ini menceritakan lebih dari sekedar romantisme cinta segitiga, lebih dari pengalaman petualangan seorang pemanjat tebing gunung.

Rangkaian kisah dalam novel ini, seakan membukakan mata dan menyibakan steorotip budaya tradisional yang kuno. Cerita tentang sejarah Jawa dan Sunda yang berasal dari Babad Tanah Jawi, dituliskan secara ringan tanpa menggurui. Mitos Ratu Pantai Selatan yang menjadi Ratu dari semua Raja Jawa. Legenda-legenda atau cerita rakyat yang dituturkan oleh pendahulu, yang kita anggap musykil dan tidak masuk nalar. Namun, di balik itu semua ada tujuan arif yang sungguh bijaksana untuk menjaga alam semesta.

Pernah berpikirkah kita, tentang pantangan-pantangan masyarakat Jawa? Jangan sembarangan masuk ke hutan, karena ada penunggunya? Untuk apa? Supaya tidak ada pembalakan hutan secara liar, hutan adalah paru-paru udara untuk semua orang, hutan adalah daerah resapan air bagi seluruh umat manusia dengan segala ekosistem yang ada.

Pernahkan kita berpikir, mengapa masyarakat Jawa memberikan sesajen di gunung-gunung? Untuk mencari keselamatan sang penunggu kah? Yang, jika kita telaah lebih jauh, dengan sudut pandang yang berbeda, kegiatan tersebut bermaksud untuk membatasi aktivitas penambangan dan penggalian batu, yang menjadi resapan air dan sumber mata air bersih.

Ahhh, dan masih banyak lagi, kontemplasi-kontemplasi tentang budaya, kepercayaan, agama dalam rangkaian kisah dalam novel ini.

Ada apa antara Parang Jati dan Gunung Parang?

Sudah kuceritakan bukan kalau Yuda adalah seorang pemanjat tebing? Parang Jati pun, kemudian memanjat bersama dengan Yuda, pemanjatan bersih atau sacred climbing. Yuda tidak lagi melakukan pemanjatan kotor dengan bor dan paku.

Jumat, 17 April, siang hari aku baru dikabari kalau malam nanti kita akan menuju ke Purwakarta, tepatnya ke Badega Gunung Parang. Aku dan dua orang temanku memang sudah merencanakan perjalanan ke Purwakarta dari minggu lalu, tetapi aku belum tahu kemana tepatnya perjalanan kami akan tertuju. Dan siang ini aku tahu, kami akan ke Badega Gunung Parang. Sekelibat, yang terlintas dalam pikiranku adalah Parang Jati! Musykil memang, ada pikiran yang entah mengapa, aku pun tak bisa menjelaskannya, aku ingin bertemu dengan Parang Jati di tebing Gunung Parang! Parang Jati dan Gunung Parang, sebuah kebetulankah?

Sabtu pagi, aku dan teman-teman sudah sampai di Badega Gunung Parang. Pemandangan Gunung Parang menjulang di depan kami. Dan, Gunung Parang ini memang gunung batu, aktivitas rock climbing sudah sering dilakukan di tebing gunung ini. Aku pun beberapakali melihat aktivitas pemanjatan ini. Orang-orang bergelantungan di sisi tebing itu. Menjadi seonggok makhluk kecil di atas permukaan bumi, menggantungkan nasib pada tambatan tali di Gunung Parang. Menggantungkan nasib pada alam.


Gunung Parang dilihat dari Saung Badega Gunung Parang

Gunung Parang dalah gunung batu, dan menjadi salah satu objek gunung untuk pemanjatan. Suatu kebetulan, yang... menyenangkan?

Dan seperti itulah pasti Yuda dan Parang Jati memanjat watugunung.

Aku belum bisa menemukan sosok Parang Jati di sini, kali ini. Tapi, aku akan kembali lagi ke sini.





Kisah Seorang Amatir Mendaki Gunung Parang


Badega Gunung Parang, Desa Cihenyi, Purwakarta

Sabtu pagi, aku bersama dua temanku, Inel dan Yudith, sampai di obyek wisata Badega Gunung Parang, Purwakarta. Selama dua hari ke depan kami akan tinggal di sini, hendak mengeksplor Purwakarta. Obyek wisata ini, dibangun layaknya kampung budaya, terdapat saung-saung yang terbuat dari bilik bambu menghadap gunung parang. Para wisatawan bisa menginap di sini, aku pun menginap di salah satu saung yang tepat menghadap gunung parang.

Sabtu-Minggu, 19-20 April, kami memang sudah menjadwalkan untuk ke Purwakarta, jalan-jalan sekaligus melepas penat setelah riuh dengan hiruk pikuk pekerjaan, komunitas, dan urusan bisnis di Jakarta. Ku pikir, kita hanya akan jelajah kota Purwakarta, tidak terlintas dalam pikiranku, kalau jalan-jalan kita kali ini ke Purwakarta, akan juga mendaki gunung, hi hi hi :D

Aku memang orang yang suka berkeliling, berjalan-jalan, kemana pun! Ke pantai, keliling kota, ke desa, ke kota, (atau mungkin ke gunung?!). Jujur, aku belum pernah mendaki gunung. Ya, walau pun aku sudah pernah berjalan kaki menjelajahi baduy luar dan baduy dalam, yang katanya, trek-nya lebih susah dibandingkan gunung papandayan. Atau ke gunung kapur?! Yang entah, itu bisa disebut gunung atau bukan, ketinggiannya hanya, mungkin dibawah 2.000 mdpl?

Berbeda dengan dua temanku, mereka sudah pernah beberapa kali mendaki gunung. Mereka amat antusias untuk mendaki gunung parang dan melihat sunset dari puncaknya.


Gunung Parang dilihat dari rumah wisata Badega Gunung Parang

Itulah secuil penampakan tentang Gunung Parang yang akan kami daki esok dini hari.

Foto diambil dari pelataran saung Badega Gunung Parang berikut:



Jadilah, Minggu dini hari, sekitar pukul 03.00, diantar seorang guide lokal kami mendaki gunung parang. Gunung Parang ini adalah gunung batu. Selain menjadi objek aktivitas pendakian, gunung parang juga merupakan objek climbing. Banyak para pemanjat yang melakukan climbing di gunung parang. Dari saung Badega Gunung Parang pun kita sering kali bisa melihat para pemanjat yang bergelantungan di sisi Gunung Parang.

Sebagai seorang amatir, yang belum pernah naik gunung sungguhan, dan tidak tahu sama sekali kalau jalan-jalan kali ini akan naik gunung, aku sedikit kaget! Ha ha ha :D, lihat saja, aku hanya memakai flatshoes dan tidak membawa sepatu/sendal untuk trekking :P. Trek pendakian ini sungguh sulit, banyak bebatuan, dan hampir semua jalur trek didominasi oleh bebatuan. Hari masih amat gelap, batu yang tajam dan tanah yang basah serta licin, mempersulitku dalam melangkahkan kaki mengikuti teman-temanku.

Di tengah perjalanan, sempat juga terpeleset (atau terpelosok?) dan hampir jatuh ke bawah, dengan kanan-kiri jurang! karena salah menumpu pada tanah basah yang licin. Yudith membantu ku untuk menggeser badan ke tanah yang lebih kering, dan mencoba berdiri lagi.

Selama hampir tiga jam perjalanan menuju summit pertama Gunung Parang, aku berhenti beberapakali (mungkin teramat sering?) karena nafas yang tersengal-sengal. Dan seringkali kaki mengantuk batu, sehingga terasa nyeri. Hampir tiga jam perjaanan, dan matahari sudah mulai nampak bersemu merah.

Kita tidak bisa mencapai puncak Gunung Parang, batas terjauh pendakian kita adalah summit pertama Gunung Parang. Jarak ke puncak masih amat jauh, dan kalau dilanjutkan pun, matahari sudah tinggi di atas kepala. Kata Inel, muka ku sudah pucak, mungkin karena kelelahan dan kehabisan nafas hahaha :D

Menurut mereka, Inel dan Yudith, yang sudah pernah mendaki gunung sebelumnya, trekking Gunung Parang ini memang sangat susah. Trekking ini cocok bagi para pendaki yang ingin merasakan rute baru, adrenalin baru, dan tingkat kesulitan yang baru. So, if you are a mountaineer, are you dare to hike this mountain?!

Ya ini secuil pemandangan yang bisa didokumentasikan oleh Inel di summit pertama Gunung Parang, ketika matahari memunculkan semburat warna merah:




Waduk Jatiluhur dan Gunung Lembu terlihat dari summit Gunung Parang




Perbukitan dan Kawasan Gunung Lembu yang Terlihat dari Summit Gunung Parang

Begitulah kisahku, seorang amatir yang mencoba mendaki Gunung Parang. Mungkin terbesit penyesalan dan kekecewaan di hati kedua temanku, karena gagal mencapai puncak dan tidak bisa melihat semburat cahaya matahari yang terbit, serta pemandangan Purwakarta dari puncak Gunung Parang.