Showing posts with label culture. Show all posts

Menelusuri Kisah Hindu-Jawa di Ujung Timur Pulau Jawa

Sudah tahukah kamu di mana ujung timur Pulau Jawa?
Banyuwangi! Ya, Banyuwangi adalah daerah paling timur dari kawasan Pulau Jawa.
Kebanyakan orang mengenal Banyuwangi karena Gunung Ijen, dan sayang sekali masih teramat sedikit orang yang mengenal Situs Peradaban Hindu Jawa di kota ini.

Siapa sangka, "The Sunrise of Java" menyimpan Situs tertua di Pulau Jawa yang merupakan Peradaban Hindu Jawa tertua di Pulau ini.

Kira-kira di mana ya Situs itu? Kebetulan hari ini aku telah meng-explore situs ini bersama rombongan FAM TRIP Kemenparekraf, So, Let's check it out!


Yup! Ini Dia Situs Kawitan, Situs Tertua di Tanah Jawa

Jadi gimana ya ceritanya tentang Situs Kawitan ini?

Konon ceritanya, Pada masa Kerajaan Majapahit ketika melakukan penyebaran agama Islam, para pemeluk agama Hindu yang tak mau beralih agama, menyingkir dari wilayah kekuasan Majapahit di Tanah Jawa, ke dalam hutan, di area Banyuwangi Selatan, yang kini menjadi area Alas Purwo. Para pemeluk agama Hindu ini mendirikan Pura di Situs Kawitan ini. Lebih jauh lagi, masyarakat Hindu Jawa ini juga bergeser ke Bali.

Kawitan sendiri dari bahasa Jawa yang berarti awal atau asal mula. Karena pura ini adalah pura yang pertama di tanah Jawa sebelum ada pura-pura lain yang dibangun. Masyarakat Hindu di area Alas Purwo diyakini sebagai masyarakat Hindu Jawa tertua di Indonesia.


Situs Kawitan Tampak Depan (Telah Dipugar)


Area Persembahan


Meja Persembahan


Persembahan


Pintu Gerbang Kerajaan Metafisik (Kerajaan di Alam Lain), (Bebatuan ini Masih Asli)

Situs Kawitan ini juga menjadi wisata religi bagi masyarakat Hindu Bali. Seringkali masyarakat Hindu Bali bertandang ke situs ini setiap momen/ritual keagamaan dan juga pada malam-malam bulan purnama.

Para masyarakat Hindu Bali yang melakukan ritual keagamaan di Situs Kawitan akan singgah di Pura Luhur Giri Salaka yang berlokasi beberapa ratus meter dari Situs Kawitan.




Pura Luhur Giri Salaka Tampak Depan


Uang Bolong yang terpasang di wajah patung ini menandakan telah diadakan upacara di tempat ini. Uang bolong merupakan uang Bali atau disebut juga uang benggol


Bale Pertemuan


Rumah Singgah para wisatawan religi dari Bali

Usai sudah secuil cerita tentang situs Hindu Jawa di Alas Purwo! Nantikan cerita-cerita unik dan seru lainnya yang tersembunyi di Alas Purwo ;)

Sensasi Menari Gandrung

Gandrung? Apa ya itu?

Sejenak, yang terlintas di benakku mengenai gandrung adalah, sebuah ejaan bahasa Indonesia yang bermakna sangat rindu, tergila-gila karena asmara, atau sangat ingin (mendambakan). Tapi, tunggu dulu, Gandrung yang ku maksud di sini, bukanlah hanya sebuah ejaan kata, melainkan salah satu tarian khas yang berasal dari daerah Banyuwangi.

Setelah ditelisik dengan berbincang langsung bersama Pak Sucipto, yang merupakan tokoh adat Suku Using, Banyuwangi, dan Pak Ridho, Kabid Pariwisata Disparta Banyuwangi, ternyata pada awalnya tarian Gandrung ditarikan oleh seorang lelaki dan digunakan sebagai media perjuangan melawan penjajah. Para penjajah amat mengagumi tarian ini sehingga terlena dan lengah, kesempatan inilah yang diambil untuk berjuang melawan mereka.

Namun, seiring berkembangnya jaman, tarian Gandrung ini ditarikan oleh perempuan yang kemudian dikenal sebagi Gandrung Semi. Semi, adalah penari perempuang Gandrung pertama di Banyuwangi dan menjadi icon tari Gandrung yang ditarikan oleh kaum hawa.

Setelah ditarikan oleh kauh hawa, tarian ini menjadi amat terkenal di tanah Banyuwangi dan menjadi icon kota ini. Hampir di setiap sudut kota ini, kita akan menemukan patung Gandrung yang terpajang menyambut para tamu dan masyarakat Banyuwangi.

Kebetulan sekali, saat ini aku sedang mengunjungi Banyuwangi dalam rangkaian Tour de Ijen Banyuwangi 2016 bersama rombongan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kami datang langsung ke Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, yang merupakan Desa Adat Suku Osing, suku asli masyarakat Banyuwangi.

Pada momen ini kami di sambut dengan tarian Barong Prejeng dan Tari Gandrung.

Pada awalnya, dua gadis menarikan Tari Gandrung Jejer dalam sesi pembukaan. Kemudian berlanjut ke Tari Gandrung Maju / Ngibing. Nah, pada saat ini lah salah seorang penarinya mengenakan selendang tarinya di leher ku dan mengajak ku menari bersama mereka.


Jadilah aku ikut berlenggok menari Gandrung

Ajakannya untuk menari seketika di depan masyarakat Banyuwangi dan Rombongan Kemenparekraf tentu mengejutkan! Namun, aku menikmati setiap irama dan lenggokan yang kita lakukan bersama :D


Menelisik Keheningan Gua "Sunyi Raga"

Gua Sunyi Raga? Apa ya itu?
Penasaran ingin tahu keunikan Gua Sunyi Raga? Let's explore the prawn city!

Sabtu pagi, 9 April aku mempersiapkan diri berangkat ke Stasiun Senen menuju Stasiun Cirebon Prujakan. Perjalanan kali ini aku berangkat bersama seorang teman dari Komunitas Sobat Budaya, Fahri namanya. Selama di Cirebon kami akan mengeksplore beberapa tempat dan objek budaya yang terkenal di Kota Udang ini.

Pagi itu, aku amat tergesa karena mengejar keberangkatan kereta pagi. Ditambah suasana hati yang kurang nyaman untuk bepergian. Awalnya, langkah kaki ini sungguh terasa berat, dan suasana hati yang murung sungguh tak membantu selama perjalanan. Baru akan duduk di kursi kereta, aku sudah menumpahkan segelas kopi panas. Sungguh pagi yang tak bersahabat...

Ahh, sudah, aku ingin meninggalkan pikiran yang carut marut dan mempersiapkan diri mengeksplor Cirebon!

Setelah semalaman kami menonton Pagelaran Tari "Lima Wanda Panuluh Caruban," pagi ini kami bersiap mengekplor Gua Sunyaragi dan Keraton Kanoman. Let's go!


Welcome to Goa Sunyaragi !!!

Gua Sunyaragi, seringkali juga disebut sebagai Taman Air Sunyaragi, atau Tamansari Sunyaragi. Kata Sunyaragi sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. "Sunya" berari sepi atau sunyi, dan "Ragi" yang bermakna "raga." Gua Sunyaragi ini memang dibangun dan dimanfaatkan untuk menyendiri, menyepi, beristirahat dan bermeditasi oleh para Sultan Cirebon dan keluarganya.

Gua ini berada di di kelurahan Sunyaragi, Kesambi, Kota Cirebon, dan komplek Gua ini menyerupai Candi. Ada beragam candi, kaputren, kaputran dan bale-bale di dalem komplek Gua ini. Dan gua ini menjadi salah satu objek cagar budaya di Kota Cirebon.

Yang menarik dari gua ini adalah gua ini meniru model Gua Hiro yang digunakan oleh Nabi Muhammad untuk menyendiri dan mencari ilham dari Allah SWT. Selain itu, berbeda dengan gua-gua pada umumnya, gua ini terbuat dari batu karang.


Ini dia batu karang yang menyusun komplek Gua Sunyaragi

Penasaran seperti apa Gua Sunyaragi? Let's check it out the view!


Komplek Gua Sunyaragi


Di belakang ku itu Bale Kambang loh :)

Dan uniknya lagi arsitektur gua ini mendapat banyak pengaruh budaya dari gaya Indonesia Klasik, hindu, China atau Tiongkok kuno, Timur Tengah dan Islam serta gaya Eropa. Saat mengitari komplek ini, aku bisa merasakan sentuhan gaya hindu, islam dan China nya loh!

Nah seperti apa ya sentuhan-sentuhan budaya itu? Ya Seperti ini:


Monumen China


Bangunan yang di atas sana, adalah tempat untuk mengumandangkan Adzan :)


Gua Padang Ati

Nah, ini adalah gua yang paling menarik perhatianku. Gua Padang Ati, berasal dari bahasa Jawa, yang artinya, terangnya hati. Sungguh, ketika keberangkatan menuju Cirebon, hati ini dipenuhi rasa carut marut, ketika menemukan gua ini aku merasa tersentil. Memang, sungguh kita membutuhkan ketenangan, untuk menjernihkan pikiran dan menerangkan hati kita ini. Dari perjalananku kali ini, aku sungguh menyadari, bahwa sesi refleksi diperlukan untuk menenangkan hati dan pikiran.

Sampai jumpa Cirebon! Selamat bertemu lagi pada kesempatan yang lain :D

Nah, terakhir aku mau kasih beberapa cuplikan view dari Komplek Gua Sunyaragi ini ya:


Gua Lawa


Salah satu sisi Gua Sunyaragi


Kamar Kaputran


Kamar Kaputren


















Eksplor Kota "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah"

Sepucuk Jambi Sembilan Lurah?
Apa ya artinya?

Sepucuk Jambi Sembilan Lurah memiliki makna mendalam bagi Kota Jambi. Kalimat ini diambil dari naskah Undang-undang Piagam pencacahan kisah Negeri Jambi yang ditulis Ngebi Sutho Dilago Priyayi Rajo Sari 13589H/1937 M, yang sarat akan filosofi. Kalimat ini melambangkan satu kesatuan kebangsaan, satu kesatuan rakyat dan wilayah Jambi dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia, juga melambangkan kebesaran dari Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.

Kalimat ini juga tertera di dalam Logo Provinsi Jambi loh!

Lalu ada apa saja ya, yang menarik di Kota Jambi? Let's check it out :)

Kebetulan aku baru saja ke Jambi tanggal 8-10 Maret 2016 lalu, untuk melihat Gerhana Matahari Total di Komplek Candi Muaro Jambi nih. Dan ada banyak kekayaan budaya tradisi yang bisa kita eksplor di Jambi! Yang paling menarik buat ku waktu itu adalah Komplek Candi Muaro Jambi, Tengkuluk dan Lempok (Dodol) Duriaaaannnn!!!

Okay! Let's explore the Jambi City!

8 Maret 2016, Touchdown Jambiiiiiiiii
Lihat deh Topinya! "Kalau Indonesia Kaya Budaya Tunjukkan Datanya!" Ini juga salah satu tujuan ke Jambi nih, mengeksplor kekayaan budaya Jambi!

Aku berangkat ke Jambi bersama teman-teman Sobat Budaya dan Dekranas (Dewan Kerajinan Nasional). Selama di Jambi, kami melakukan Lacak Artefak dan Ekspedisi Budaya Jambi, sekaligus mendokumentasikan Gerhana Matahari Total di Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah ini.

Sesampainya di Kota Jambi kami disambut oleh Gadis Jambi loh! Gadis Jambi ini semacam abang none Jakarte guys, ternyata di setiap daerah pun memiliki program-program yang serupa seperti ini ya :)
Gadis Jambi ini mengenakan pakaian khas Jambi dan Tengkuluk.

Tim Ekspedisi Sobat Budaya & Lacak Artefak bersama Gadis Jambi

Tengkuluk ini merupakan kain penutup kepala perempuan Jambi dan menjadi simbol keluhuran perempuan loh. Dan ada beragam model serta fungsinya dan makna yang berbeda-beda! Ada aturan dalam memasang tengkuluk, yaitu apabila kain menjuntai ke arah kanan menandakan bahwa wanita itu telah bersuami dan apabila kain menjuntai ke arah kiri berarti ia adalah seorang gadis. Nah, kamu kalau mau mengenakan tengkuluk, menjuntai ke kanan atau ke kiri nih? Aku sih sekarang ini masih menjuntai ke kiri, hehehe.

Ragam Tengkuluk Jambi

Nah, secuil bahasan tentang Tengkuluk sudah ya guys, sekarang aku mau bahas tentang Komplek Candi Muaro Jambi nih. Di Kota Jambi, ternyata ada banyak percandian yang bisa kita eksplore loh! Candi-candi ini berdekatan, ada beberapa yang sudah di pugar dan ada beberapa yang masih puing-puing batu dan bata sisa-sisa arsitektur candi terdahulu. Let's check it out!

Candi Astano


Candi Gedong

Candi Gumpung

Candi Kedaton

Candi Kembar Batu

Candi Tinggi

Nah itulah beberapa candi yang ada di Kota Jambi guys. Cerita ini bersambung di sini dulu yaaa,, eksplorasi Kota Jambi akan kuteruskan kembali ceritanya. Sampai jumpa di tulisan berikutnya :)

Serunya Jalan-Jalan Sambil Ngulik Budaya Indonesia :)

Jalan-jalan! Siapa yang ga suka coba, kalau aku suka banget pastinya!
Tahun lalu, aku udah beberapa kali ikutan ngetrip sama Culture Trip ID! Lucu yah, kok Culture Trip sih?
Jadi, kalau jalan sama Culture Trip ID selain kita memanjakan diri melihat pemandangan alam yang asik, kita juga diajakin ngulik-ngulik berbagai budaya di daerah yang kita kunjungi.

Pas ke Bogor tahun lalu, diajakin muter-muter kota Bogor dan belajar gimana caranya pembuatan tahu, wayang golek, mainin alat musik gamelan, makan-makan di Taman Kencana dan ke pemandian air panas di kaki gunung kapur! Seru yang pasti! Ini beberapa keseruan trip to Buitenzorg with Culture Trip ID tahun lalu guys:


Mejeng dulu di Tourism Information Center Kota Bogor ~



Nah ini keseruan membuat dan mewarnai wayang golekmu sendiri!


Tapi seharian jalan-jalan di Bogor pasti kurang banget yaaa bisa explore Bogor, makanya pengen mengulik objek-objek yang lain lah ~

Nah, kebetulan Culture Trip ID to Bogor is come back this year!

DAAANNNNNNN YANG PENTING ADA SAYEMBARA BUAT DAPETIN TRIP GRATIS!!!

Buat yang mau ikutan trip nya atau mau ikutan sayembara nya add aja official line@ nya di @fen0158a. Dan follow Twitter sama Instagram nya biar tahu info terupdate :))

Ini buat preview aja sih, kalau udah add official line@ nya akan bisa ikut trip draw kaya gini:



Yaudah ya, aku sih mau ikutan Trip to Buitenzorg dengan objek budaya yang berbeda! Kalau kamu?




Rayakan Kemerdekaan RI dengan Pengenalan Budaya ke Anak-anak

Indonesia sebentar lagi akan merayakan Kemerdekaannya yang ke-70 tahun. Sebagai negara dengan diversitas kebudayaan tertinggi di dunia, dengan sekitar 17.000an pulau di Nusantara, 1200-an suku bangsa, 700-an bahasa daerah, dan jutaan kekayaan budaya tradisi, sayangnya Indonesia belum (cukup) merdeka dalam hal budaya.

Mengapa demikian? Ya, karena semakin hari, Indonesia kehilangan kekayaan budayanya. Semakin hari ada saja kebudayaan yang hilang, lenyap, punah atau bahkan diklaim oleh negara lain karena kita sebagai masyarakat Indonesia sendiri kurang mengapresiasi dan acuh tak acuh untuk turut serta melestarikan kekayaan budaya tradisi nusantara yang begitu melimpah.

Dan mirisnya, di era kekinian, kita semakin sulit mencari referensi mengenai kekayaan budaya kita, ada tapi terbatas. Pengenalan dan edukasi tentang budaya tradisi ke anak-anak pun dirasa semakin surut. Seringkali berbincang dengan teman-teman (generasi 90-an), pun merasakan semakin hilangnya permainan-permainan tradisional yang dulu kerapkali mereka mainkan.

Lama kelamaan, jika kita tidak acuh atas pelestarian budaya tradisi di nusantara, mungkin anak cucu kita kelak tidak akan lagi bsia berbangga hati dan mengenal kekayaan budaya Indonesia.

Sudah setahun ini aku bergabung dengan teman-teman di Komunitas Sobat Budaya. Komunitas ini berupaya melestarikan budaya tradisi melalui pendataan dan membangun Perpustakaan Digital Budaya Indonesia serta agenda-agenda kegiatan lainnya yang beragam, mulai dari ekspedisi budaya, penelitian, seminar, roadshow, dan lain-lain.

Dalam rangka merayakan Kemerdekaan RI yang ke 70 tahun, kami dari Sobat Budaya hendak mengadakan kegiatan "Sharing for Caring." Sebuah kegiatan perayaan kemerdekaan dengan mengenalkan kebudayaan Indonesia bersama adik-adik di Panti Asuhan Fajar Harapan, Bandung, pada tanggal 17 Agustus 2015.

Acara "Sharing for Caring" akan diisi dengan acara perlombaan, pengenalan budaya (dongeng) dan charity.
Peduli? Ayo ikut berbagi.
Ayo bantu adik-adik kita. Dengan memberi donasi, batas pengumpulan sampai tanggal 14 agustus 2015.
Donasi bisa disalurkan ke:
Bank Mandiri Cab. Bandung Sentrasari Plaza
Account name: Yayasan Sobat Budaya
Nomor Rekening: 132-00-1530941-3


Sobat budaya
Follow : @sobatbudaya | ig : sobat budaya
Line : sobat budaya



Ceritaku di Desa Adat Baduy

 Pagi itu aku dan beberapa teman dari Jakarta dan Bandung bersiap melakukan perjalanan menuju Desa Adat Baduy. Desa Adat? Ya, desa Baduy memang dinobatkan sebagai desa adat karena masyarakat desa Baduy, terutama desa Baduy Dalam masih menjungjung tinggi dan menjaga adat tradisi para leluhur. Masyarakat Baduy masih tinggal di dalam rumah tradisional yang terbuat dari bilik bambu, dan berbentuk panggung. Baju yang dikenakan juga baju khas baduy yakni kain samping ares dan baju putih atau hitam, serta ikat kepala.


Sore hari mobil kami sampai di Pintu Gerbang Ciboleger. Tembok pembatas antara desa Baduy dan peradaban dari dunia luar. Ya, karena di sini lah titik terakhir kita bisa mengendarai kendaraan bermotor, mendapatkan sinyal telfon dan jaringan internet yang masih bagus, akses pasar, mini market, kamar mandi dan listrik. Ketika kita sudah melewati gerbang dan memasuki desa Baduy? Oh tidak lagi! Tidak ada lagi pasar, toko, sinyal telfon dan internet (susah sekali mendapatkannya), dan kamar mandi pun amat sangat terbatas hanya beberapa rumah yang memiliki kamar mandi. Beberapa orang-orang di Baduy Luar menggunakan lampu solar untuk penerangan di malam hari, dan masih ada beberapa yang menggunakan ceplik (lampu minyak), sedangkan di Baduy Dalam semuanya menggunakan ceplik/lampu minyak.

Patung Selamat Datang di Ciboleger
Foto oleh Wulan

Dari Pintu Gerbang Ciboleger menuju Desa Balimbing di Baduy Luar kita tempuh dengan berjalan kaki. Jalanannya masih tanah, licin, dan turun hujan saat itu. Aku yang belum pernah melakukan perjalanan jauh, terutama di dataran tinggi begini merasa sangat kewalahan, apalagi dengan beban carrier 50L dan turun hujan! Aku sempat terhenti di tengah perjalanan untuk menghela nafas dan menjatuhkan ke carrier ke tanah! Ahh, aku sudah sangat lelah. Tapi teman-teman yang lain membantuku dan kita melanjutkan perjalanan.

Perjalanan menuju Desa Adat Baduy itu sungguh penuh perjuangan!

Akhirnya, petang hari kami sampai di rumah Kang Sarpin, ayah Mul di Desa Balimbing, kita singgah dan tinggal di sini selama di Baduy. Kang Sarpin, bisa dibilang adalah salah satu tokoh pemuda dari Baduy Luar. Kang Sarpin sudah sering menerima tamu dari kota.


Kami, berada di jembatan yang memisahkan desa balimbing dengan desa gazebo
Foto oleh Agung

Desa-desa di Baduy baik di Baduy Luar maupun di Baduy Dalam dipisahkan oleh sungai dan disatukan oleh jembatan yang dibuat dari kayu bambu.


Bersama dengan Ayah Mursyid, Jaro Parowari/Humas dari Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berwarna putih), Kang Nalim, salah satu warga Desa Cibeo, Baduy Dalam (mengenakan baju khas baduy berbaju hitam), dan Mul, salah satu pemudah di Desa Balimbing, Baduy Luar (mengenakan iket kepala khas baduy)
Foto oleh Agung

Mul meneteskan getah batang kisereh di mata Aldi. Batang kisereh merupakan salah satu tanaman mengobati sakit mata dan menjernihkan mata
Foto oleh Agung

Masyarakat baduy tidak melakukan pengobatan dan pemeriksaan ke dokter atau bidan, mereka (terutama masyarakat Baduy Dalam) dilarang mengikuti modernitas, mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia dan menggunakan sabun. Masyarakat baduy menggunakan tanaman-tanaman untuk pengobatan tradisional dan menggunakan batu untuk menyikat gigi mereka dan tak menggunakan sabun untuk mandi dan mencuci.

Ladang Huma di Baduy Luar
Foto oleh Agung

Pekerjaan utama masyarakat baduy adalah bertani. Mereka menanam padi setahun sekali di ladang huma. Selain padi mereka juga menanam sayuran, cabai, jagung dan umbi-umbian.

Perjalanan dari Desa Balimbing (Baduy Luar) menuju Desa Cibeo (Baduy Dalam)
Foto oleh Agung

Kegiatan Menenun oleh Wanita Baduy
Foto oleh Fikri

Wanita Baduy, (terutama di baduy luar) setiap sore menenun di teras rumahnya. Setiap wanita di baduy seyogyanya bisa menenun, dan kegiatan menenun ini hanya dilakukan oleh para wanita.

Jembatan yang memisahkan desa-desa di Baduy Luar
Foto oleh Fikri

Kegiatan memasak bersama dengan warga baduy luar (Kang Sarpin beserta istri)
Foto oleh Oase

Rumah tradisional masyarakat Baduy Luar
Foto oleh Agung

Leuit, tempat penyimpanan padi masyarakat Baduy
Foto oleh Agung

Leuit merupan tempat penyimpanan padi atau lumbung padi bagi masyarakat baduy. Leuit ini bisa menyimpan padi hingga berumur 100 tahun. Masing-masing kepala keluarga memiliki 1-2 buah leuit. Leuit (padi) ini merupakan salah satu bentuk simpanan kekayaan mereka. Leuit ditempatkan secara berkelompok, terpisah dengan desa/rumah asal pemilik untuk menghindari bencana/kebakaran.

Ungkapan Kasih Sayang Nenek Moyang Orang Indonesia

Hari Valentine atau disebut juga hari kasih sayang yang dirayakan setiap tanggal 14 Februari adalah sebuah hari di mana para kekasih dan mereka yang sedang jatuh cinta menyatakan cintanya.

Awalnya, hari Valentine adalah Perayaan Lupercalian pada tanggal 13-15 Februari yang dimaknai sebagai ritus pemurnian dan kesuburan. Hingga pada tahun 496 M, Paus Gelasius I melarang Lupercalia dan menyatakan 14 Februari sebagai hari Santo Valentine. Hari inilah yang marak dirayakan setiap tahun oleh muda-mudi di seluruh penjuru dunia, termasuk juga Indonesia.

Bangsa barat menyatakan dan merayakan rasa cinta kasih dan sayangnya dengan kartu ucapan valentine, mawar merah, coklat dan simbol cupid.

Lalu bagaimana dengan pengungkapan rasa cinta kasih dan sayang dalam tradisi nenek moyang orang Indonesia?

Nenek moyang kita menyatakan rasa cinta kasih dan sayangnya dengan cara yang amat elegan, penyampaian ungkapan hati dalam motif penuh makna yang tertuang dalam sehelai kain, batik!

Terdapat ribuan motif batik yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia dengan beragam motif dan warnanya. Masing-masing motif batik memiliki makna, filosofi dan cara penggunaannya tersendiri.

Ribuan motif ini telah diteliti oleh Hokky Situngkir dan menjadi sebuah master piece “Pohon Filomemetika Batik” sehingga kita bisa melihat keindahan batik nusantara dalam sebuah pohon kekerabatan batik.

Lalu, motif batik apa yang mengungkapkan rasa cinta kasih dan sayang nenek moyang orang Indonesia?

Dari ribuan motif yang ada di seluruh pelosok Indonesia, ada lima motif batik yang menarik dan memunculkan sisi romantisme nenek moyang kita.

Batik Truntum

Motif truntum diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencana (Permaisuri Sunan Paku Buwana III dari Surakarta Hadiningrat). Motif truntum ini memiliki makna cinta yang tumbuh kembali. Motif ini dibuat sebagai simbol cinta kasih yang tulus tanpa syarat, abadi dan semakin lama semakin terasa subur berkembang (tumaruntum).
Motif truntum juga merupakan simbol dari cinta yang tumbuh kembali.
Karena maknanya, kain bermotif truntum biasa dipakai oleh orang tua pengantin pada hari pernikahan. Harapannya adalah agar cinta kasih yang tumaruntum ini akan menghinggapi kedua mempelai. Terkadang, motif truntum ini juga dimaknai bahwa orang tua berkewajiban untuk “menuntun” kedua mempelai untuk memasuki kehidupan yang baru.

Batik Sido Luhur

Motif batik Sido luhur berasal dari Keraton Yogyakarta. Kata sido memiliki arti menjadi/jadi/terlaksana. Motif batik yang berawalan sido mengandung harapan agar apa yang diinginkan bisa terlaksana. Motif batik sido luhur memiliki makna harapan untuk mencapai kedudukan yang tinggi dan bisa menjadi contoh atau panutan masyarakat.
Motif batik sido luhur dibuat oleh Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan Senopati yang merupakan pendiri kerajaan Mataram Jawa. Konon, motif batik ini dibuat khusus oleh Ki Ageng Henis untuk diberikan kepada anak dan keturunannya agar memiliki hati serta pikiran yang luhur sehingga berguna bagi negara dan masyarakat.
Mitosnya, pembuatan motif batik ini diawali dengan menahan nafas cukup lama. Filosofi makna di balik motif batik Sido luhur ini juga berarti berhasil mengembangkan, menyempurnakan diri menjadi manusia yang berbudi luhur yang senantiasa berdoa, mengingat dan bersyukur kepadaNya.
Motif ini adalah motif yang dikenakan oleh pengantin saat pernikahan.

Batik Sido Asih

Batik sido asih berasal dari bahasa jawa, yakni “sido” yang berarti terus menerus/jadi/keberlanjutan dan “asih” yang mempunyai arti kasih sayang. Batik sido asih ini diartikan sebagai pelambang suatu kehidupan manusia yang penuh cinta kasih dan sayang, menentramkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.
Di dalam adat Jawa, batik sido asih sering dipakai pada acara pernikahan, kain bermotif sido asih digunakan sebagai busana malam pengantin. Dengan menggunakan motif batik sido asih, maka kedua pengantin memiliki harapan untuk mampu menjalani kehidupan barunya dengan lebih harmonis serta semakin romantis penuh cinta kasih.

 

Batik Sido Mukti

Motif batik sido mukti seringkali digunakan untuk busana pengantin dalam upacara pernikahan. Unsur motif batik sido mukti mengandung motif gurda. Harapan dari batik sido mukti ini adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin.

Batik Lasem

Batik lasem mampu menghadirkan romantisme relasi, layaknya sekuntuk mawar merah. Keindahan paduan warna dan motifnya mampu menyejukan hati berbinar asmara.
Tidak seperti bunga yang cepat layu, batik lasem lebih mempresentasikan loyalitas cinta kasih, karena sifat keabadiannya yang sarat dengan nilai-nilai filosofis, spiritualisme, art dan material. Batik lasem ini cocok untuk mengungkapkan dan mengekspresikan perasaan cinta.

Mana pilihan batikmu untuk ungkapkan rasa cinta, kasih, sayang dan merayakan keceriaan valentine?